UNGKAPAN Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu Data sudah menjadi slogan nasional dalam peningkatan kualitas dan kuantitas data.
Covid-19 menyerang siapa pun yang kurang peduli dengan lingkungan, kesehatan, dan kedisiplinan. Kaya atau miskin, di kota maupun di desa, bisa diterjang oleh covid-19 tanpa pandang bulu. Covid-19 tidak mengenal kasta.
Covid-19 jika berkepanjangan akan meningkatkan penduduk miskin di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rumus menghitungnya adalah Garis Kemiskinan = Garis Kemiskinan Makanan + Garis Kemiskinan Non-Makan. Untuk jelasnya silakan melihat definisi yang ditentukan oleh BPS.
Berdasarkan data, BPS per Maret 2019, penduduk miskin Indonesia 25,14 juta jiwa atau 9,14% dari jumlah penduduk (sekitar 260 juta). Untuk menentukan miskin dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan Rp425.250,-. Kalau di-kurs dengan US dollar, yaitu Rp15.000 per 1 dollar, sekitar US $28.35 per kepala per bulan. Tentu ini sangat kecil, jika dibandingkan dengan pengeluaran keluarga menengah saja, bisa jadi per minggu sama dengan pengeluaran penduduk miskin per bulan.
Dengan pandemi covid-19, sangat mungkin tingkat kemiskinan naik lagi. Semakin lama covid-19 bertengger di belahan bumi, akan semakin banyak tambahan persentase orang miskin karena mereka yang bekerja di bidang informal dan yang paling parah di sektor pariwisata, perhotelan, pekerja seni, dan budaya tidak dapat menjalankan profesinya secara optimal.
Pertanyaannya, bagaimana menyelesaikan persoalan kemiskinan di Indonesia secara terintegrasi dan lebih fokus? Jawabanya adalah menggunakan satu data. Kita segera wujudkan impian punya satu data Indonesia. Setiap penduduk Indonesia hanya punya satu identitas.
Setiap penduduk di Indonesia harus mempunyai satu nomor unik (satu identitas) yang digunakan untuk semua urusan. Tidak boleh setiap sektor membuat kriteria sendiri-sendiri. Pemerintah harus tegas dan disiplin mematuhi dan menerapkan penggunaan satu data untuk semua urusan pengentasan kemiskinan.
Upaya untuk mewujudkan cita-cita punya satu data atau kalau di negara maju mungkin disebut social security identity number itu sudah lama sekali. Setahu saya, sejak tahun 90-an Bappenas sudah membicarakan hal ini. Akan tetapi, waktu itu mungkin dengan koordinasi yang masih sulit dan kemajuan teknologi belum seperti sekarang, tidak mungkin bisa diwujudkan. Jadi, baru sebatas diskusi dan wacana.
Siapa yang paling layak dan kompeten membuat satu data? Menurut saya, Kementerian Dalam Negeri. Kementerian ini bisa dijadikan ujung tombak untuk mewujudkan satu data. Mengapa? Karena mereka mengelola data penduduk di seluruh Indonesia.
Berdasarkan satu data, kita bisa menghitung dengan akurat berapa penduduk miskin yang harus ditangani dengan kriteria yang bisa ditentukan secara pasti. BPS akan dengan mudah bisa menghitung tingkat kemiskinan berdasarkan pengeluaran. Misalnya, kalau pengeluaran per kapita ditingkatkan menjadi 500 ribu per bulan, penduduk miskin jadi berapa persen dan jiwa? Semua bisa dihitung dengan cepat dan akurat.
Setiap sektor yang menagani kemiskinan harus menggunakan satu data. Sektor mana saja yang harus menggunakan satu data? Menurut saya banyak sekali. Sebagian besar sektor yang akan ditangani selalu bersentuhan dengan kemiskinan. Setiap kementerian koordinator selalu bersentuhan dengan kemiskinan.
Kementerian Koordinator PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) sangat bersentuhan dengan kemiskinan, antara lain sektor pendidikan, kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan, pedesaan, ketenagakerjaan, agama, dan kebudayaan.
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi tentu juga akan terkait dengan kemiskinan, misalnya masalah nelayan. Rata-rata tingkat kehidupan nelayan di Indonesia memang belum sejahtera. Juga Investasi di daerah miskin dengan sumber daya yang belum dioptimalkan dan program lain yang relevan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sudah pasti sangat terkait dengan kemiskinan, seperti pembinaan UMKM, meningkatkan daya saing sektor informal, peningkatan taraf hidup petani yang sebagian besar memang kurang mampu, pemberian kredit tanpa agunan, dan program lainnya yang relevan.
Kementerian Koordinator Polhukam juga ada kaitannya dengan kemiskinan, misalnya penanganan teroris. Banyak saudara kita terjebak dengan kegiatan teroris bukan karena ideologi saja, melainkan termasuk karena kemiskinan. Perlu pembinaan bela negara dan program lain yang relevan.
Sebetulnya, beberapa data sudah mulai disinkronkan dan dipadankan, misalnya antara data siswa kurang mampu dengan data PKH (Program Keluarga Harapan), data kependidikan dan data kependudukan, dan tentu masih ada lagi yang sudah dikerjakan yang saya belum tahu. Ini suatu awal yang bagus dan membawa harapan yang besar.
Kesimpulannya, dengan satu data kita bisa menyelesaikan masalah kemiskinan secara terpadu, terintegrasi, fokus, dan terarah. Pertanyaannya, berapa lama kita akan menyelesaikan satu data ini secara tuntas? Dengan teknologi yang sangat maju sekarang ini dan dengan komitmen yang tinggi semua pihak, saya yakin bisa segera terwujud.
Semoga Covid-19 segera pergi dan kemiskinan di Indonesia akan terus turun. Kesejahteraan dan kemakmuran seluruh penduduk Indonesia segera terwujud. (*)
Didik Suhardi, Ph.D., Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)