Oleh R.Suyato Kusumaryono*)
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).
Berbicara profesional guru sepertinya tidak akan pernah ada habis-habisnya selalu saja menarik untuk dibahas, terlebih momentumnya bertepatan dengan hari guru nasional tanggal 25 November yang akan datang. Diusianya yang memasuki ke-75 tahun, pastinya asam garam dinamika problematika guru dalam perjalanannya yang begitu panjang, berharap segala permasalahan yang prinsip sudah dapat terselesaikan. Namun faktanya ternyata masih juga menyisakan persoalan yang cukup serius terkait eksistensi guru sebagai pendidik professional.
Fakta diantaranya: Pertama; mengutip apa yang disampaikan oleh mantan Sekretaris Ditjen GTK M.Q. Wisnu Aji, bahwa permasalahan yang sedang dihadapi bangsa saat ini dalam mewujudkan guru porfesional, nampaknya masih belum memenuhi target harapan. Masih banyak guru yang belum sarjana (S-1), ada sekitar 300 ribuan guru PNS yang belum memenuhi kualifikasi S-1. Bahkan dalam besaran persentasenya dari sekitar tiga juta sepuluh ribu guru (PNS dan Non PNS) yang kita miliki, hampir 50%-nya belum bersertifikat atau tersertifikasi. Padahal sertifikat itu adalah bukti profesionalisme guru, sebagaimana yang diamanatkan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ditambahkan pula menurutnya bagaimana guru itu dapat mendidik atau melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, jika mereka belum memenuhi kompetensi minimal sebagai guru profesional (Suara Guru, Nov-Des 2019); Kedua, secara antitesis pada kenyataannya guru-guru yang menyandang predikat profesional ternyata hasilnya belum dapat dikatakan memuaskan, sebagaimana pernyataan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika menghadiri acara Dialog Publik Pendidikan Nasional dengan Persatuan Guru Republik Indonesia, menegaskan bahwa sekarang sertifikasi guru tidak mencerminkan apa-apa. Sertifikasi hanyalah prosedural untuk mendapatkan tunjangan. Guru, setelah disertifikasi, tidak menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab. Sertifikasi telah berubah menjadi hanya sebatas prosedur untuk mendapatkan tunjangan. Padahal proses sertifikasi untuk membuktikan profesionalisme (https://www.depoedu.com/2019/02/23).
Ketiga; hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) terakhir, bahwa guru yang lulus dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen. Artinya terdapat sekitar 70 persen guru yang mendapatkah hasil UKG dibawah nilai 80, atau masuk dalam kategori tidak kompeten (https://www.pikiran-rakyat.com/22/08/2019) ; dan Keempat; berdasarkan data hasil studi PISA (Program for International Student Assessment) yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali bagi siswa berusia 15 tahun, rangking Indonesia tahun 2015 masih berada pada 10 besar peringkat terbawah, yaitu peringkat 62 dari 72 negara. Adapun hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), bahwa siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal melakukan prosedur ilmiah (https://www.pikiran-rakyat.com,18/06/2016).
Bila dikaji secara seksama benang merah permasalahannya tersebut di atas, terletak pada pentingnya untuk mengembalikan guru pada kedudukannya sebagai pendidik professional seutuhnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen. Maksudnya disatu sisi guru sudah harus memenuhi kompetensi minimal sebagai guru professional, dan disisi lain guru yang sudah bersertifikat pendidik dituntut tanggungjawabnya atas profesinya secara profesional. Mengingat kondisi masyarakat sekarang ini kerap kali menuntut kinerja serba professional dalam berbagai profesi termasuk pula pada profesi guru, sebab sesuatu yang bersifat professional sangat identik dengan kualitas layanan yang terbaik, pastinya berdampak pula pada hasil yang optimal.
Secara etimologi istilah “professional” berasal dari kata ‘profesi’, serapan dan bahasa Inggris, yaitu ‘profession’ atau bahasa latin, ‘profecus’, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam KBBI profesional secara umum berarti: (1) bersangkutan dengan profesi; (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Ditambahkan pula menurut Robert W. Richey dan D. Westby Gibson (dalam Tirtorahardjo, 2007)), yaitu: (1) Lebih mengutamakan pelayanan kemanusiaan yang ideal; (2) pekerjaan tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat; (3) memiliki organisasi profesi; (4) mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas pekerjaan profesi tersebut; dan (5) Pemangku profesi memandang profesinya sebagai suatu karir hidup. Ciri umum professional tersebut tentu melekat pada profesi guru, disamping terdapat tambahan lain yang membedakan profesional guru dengan profesi lainnya, yakni: (1) guru sebagai pengajar, (2) guru sebagai pembimbing, dan (3) guru sebagai administrator kelas. Hal itu sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian poin pentingnya bahwa profesi guru merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise), artinya, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus, dimaksudkan supaya menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang berkadar tinggi.
Mencari tahu mengapa begitu berarti membidani pendidikan oleh guru-guru profesional, pertimbangannya: Pertama, subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya, sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia; dan Kedua, Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh karena itu guru professional dalam mengelola proses pendidikan sangatlah penting, sebagaimana juga dituntut masyarakat global. Ini bisa dilihat pada isi dokumen United Nations Sustainable Development Goal 2015-2030, yang menyatakan bahwa seluruh pemerintahan negara-negara di dunia pada tahun 2030 harus mampu menjamin bahwa siswa-siswa harus dididik oleh guru-guru yang berkualitas, terlatih dan sosok motivator yang baik. Begitu strategisnya kedudukan profesional guru dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional, maka sangatlah wajar jika negara begitu serius untuk berupaya menjadikan guru Indonesia sebagai pendidik professional, baik melalui program PPG (Pendidikan Profesi Guru), maupun dalam bentuk pemberian Tunjangan Profesi Guru (TPG), yang anggaran pendanaan setiap tahunnya sangatlah fantastis jumlahnya.
Menjadikan guru sebagai pendidik professional, tahapannya dilalui dengan proses sertifikasi yang bertujuan untuk mendapatkan sertifikat pendidik sebagai bukti keabsahannya guru tersebut professional. Namun sebagaimana telah disinggung di atas ternyata harus dihadapkan pada berbagai kendala, sehingga perlu dicarikan jalan keluarnya. Maka untuk meminimalisasi permasalahan tersebut, berbagai terobosan kebijakan prioritas guru telah dilakukan oleh Kemendikbud, dalam hal ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), melalui capaian tujuh program prioritas kebijkannya pada kurun waktu 2015-2019.
Tiga dari tujuh program prioritas kebijakan Ditjen GTK tersebut yang langsung terkait dengan persoalan guru, yaitu; Pertama, peningkatan kualitas akademik melalui pemberian bantuan biaya peningkatan kualifikasi akademik bagi guru. Bertujuan untuk memotivasi guru menyelesaikan studi sampai memperoleh ijazah S1/DIV sebagai yang dipersyaratkan untuk mengikuti program sertifikasi. Progresnya dari guru yang belum S1/DIV mencapai 25,23%, hingga tahun 2018 telah terealisasi hingga mencapai 87,22%; Kedua, Penuntasan sertifikasi guru. Berangkat dari ketentuan baru pelaksanaan sertifikasi guru mengacu pada PP Nomor 19 Tahun 2017 tentang perubahan atas PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pada pasal 66 PP Guru menegaskan bahwa “Bagi guru dalam jabatan yang diangkat sampai dengan akhir tahun 2015 dan sudah memiliki kualifikasi akademik S1/DIV tetapi belum memperolah sertifikat pendidik dapat memperoleh sertifikat pendidik melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Data kemajuannya bisa dibandingkan dari titik awal tahun 2014 jumlah guru lulus sertifikasi 110.502, hingga tahun 2018 sudah mencapai target 594.773; Ketiga, Peningkatan kompetensi berbasis kelompok kerja profesi. Kebijakan zonasi pendidikan yang diterapkan mulai tahun 2017 juga diiplementasikan dalam pengembangan keprofesian bagi guru-guru, yakni melalui program Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP). PKP menjadi langkah terobosan Dirjen GTK untuk melengkapi kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan Guru Pembelajar. PKP bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran yang diharapkan bermuara pada peningkatan kualitas siswa. Capaian program akumulasi jumlah GTK yang mengikuti Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan tahun 2015 awalnya berjumlah 41.959, hingga tahun 2018 telah mencapai 1.723.044 guru (Sumber; Capaian Kinerja Kemendikbud, 2014-2019).
Selanjutnya arah kebijakan dan strategi Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan pada kurun waktu 2020—2024, dalam rangka mendukung kebijakan Merdeka Belajar untuk mewujudkan Pelajar Pancasila, yaitu melalui transformasi Guru dan Tenaga Kependidikan. Transformasi Guru dan Tenaga Kependidikan tersebut dapat terwujud secara optimal melalui berbagai program-program utama Ditjen GTK, yang secara garis besar adalah sebagai berikui: Pertama, Transformasi Kepemimpinan Pendidikan. Strategi yang dilkukan dengan Program Pendidikan Guru Penggerak. Hasil yang diharapkan dari Program Pendidikan Guru Penggerak adalah pemimpin sekolah yang berkualitas tinggi, yaitu yang memahami kebutuhan belajar murid, yang mampu menjadi mentor buat guru-guru dan kepala sekolah lainnya, dan yang menjadi penggerak perubahan dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Kedua, Transformasi Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan. Hasil yang diharapkan dari Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan adalah Pendidikan guru berstandar global. Ketiga, Pengembangan Ekosistem Belajar Guru di setiap Provinsi. Strategi yang dilakukan dengan membentuk Balai Guru Penggerak (BGP). Outputnya berupa Unit pembelajaran guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah di setiap provinsi; Keempat, Komunitas Pendidikan yang Bergotong Royong untuk tujuan yang sama (Murid). Strategi diantaranya melalui Program Organisasi Penggerak (POP). Kelima, Regulasi, Tata Kelola, dan Koordinasi dengan Pemerintah Daerah Hasil yang diharapkan regulasi-regulasi di bidang guru dan tenaga kependidikan yang mendorong peningkatan kualitas secara komprehensif serta dibidang pendidikan profesi guru, yang mendorong terciptanya inovasi-inovasi dalam peningkatan komprehensif (Peraturan Dirjen GTK No. 3928/B/HK/2020)
Berbagai langkah kongkret dalam mengimplementasikan kebijakan GTK tersebut, antara lain: 1) Program Guru Penggerak, akan ditetapkan 10.000 Guru Penggerak, hasil dari seleksi Guru penggerak bertugas mengajar di Balai Guru Merdeka (Center of Exellence) dan PPG; 2) Pelatihan kepada 35.000 guru melalui Balai Guru Merdeka. Paradigma pelatihan gurunya mengalami perubahan yang semula dilakukan oleh internal Kemdikbud, maka pelatihan ke depan akan bekerjasama bergotongroyong dengan organisasi nonprofit; 3) menjaring Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), sebagai organisasi penggerak. Menjadi bagian dari pelatihan kepada 35.000 guru di Balai Guru Merdeka; 4) program revitalisasi PPG, Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan direncanakan akan melahirkan 20.000 guru bersertifikat. dengan mengembangkan model PPG inovatif; 5) menuntaskan program Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) bebasis zonasi; dan 6) program penataan dan redistribusi guru di 514 kabupaten/kota (Majalah Guru, Edisi I, Tahun I, Juni 2020).
Berbagai kebijakan yang telah dilakukan tersebut semata-mata merupakan bentuk komitmen kuat pemerintah untuk mewujudkan performa guru sebagai pendidik professional yang efektif. Jika dimaknai secara mendalam bisa jadi selain itu sebuah tujuan program kerja yang akan dicapai, juga bisa diterjemahkan sebagai stimulus bagi guru untuk senantiasa mengembangkan profesinya, sebab esensinya justru dikembalikan lagi kepada guru itu sendiri untuk membawa marwah sebagai profesional. Setidaknya dimulai dari pengakuan secara sadar akan makna profesi, menghargai, mencintai, dan bertanggungjawab akan tugas profesinya, serta berusaha mengembangkan profesinya.
Berbicara tanggungjawab professional guru, tantangan terberat justru manakala dihadapkan pada kondisi pandemi Covid 19 sekarang ini, yang memaksa orang untuk melakukan social pysical distancing, menyebabkan kegiatan utama proses belajar mengajar tatap muka di kelas dihentikan, akibatnya penetrasi penggunaan Teknologi Informasi (TI) serta digital dalam proses belajar mengajar menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak, yang memaksa memiliki keakhlian lain khususnya dalam penggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai alat penunjang efektivitasnya proses belajar mengajar. Meskipun harus diakui bahwa hal itu tidaklah mudah untuk dilakukan oleh pendidik, sebab faktanya kemampuan guru (SD-SLTA) dalam kemampuan penguasaan TIK jumlahnya kurang begitu memuaskan, yaitu berkisar 40% (Sumber: BSN, 2019). Ini bisa dimaklumi sebab sebagian besar guru terbiasa dininabobokan dengan pembelajaran konvensional yang minim menggunakan perangkat teknologi informasi. Namun kendala tersebut harus bisa diantisipasi, maksudnya sebagai guru professional mesti siap dengan segala kondisi dalam tanggung jawab profesinya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui penciptaan suasana pendidikan yang bermakna dan kreatif.
Pastinya kita berharap semoga pandemi Covid-19 ini segera berakhir, meskipun tidak dipungkiri bahwa adanya pandemi ini dalam proses pembelajaran dapat meningkatnya kemampuan pendidik dan peserta didik dalam literasi teknologi infomasi. Akan tetapi secanggih apapun teknologi termasuk cara virtual dalam proses pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan, akan lebih efektif bila kegiatan belajar mengajar dilakukan secara tatap muka dalam lingkungan budaya sekolah. Dengan kata lain kedudukan guru tidak bisa tergantikan secara keseluruhan oleh kemajuan teknologi gawai se-smart apapun. Oleh karenanya sangatlah penting untuk menguatkan kembali performa guru sebagai pendidik professional, sebab kedudukan guru itu tidak sekedar berfungsi sebagai pengajar untuk menstransfer ilmu semata, akan tetapi yang yang paling mendasarnya adalah sebagai pendidik yang mesti menjadi contoh dan suri teladan, mengajarkan bagaimana memaknai dan menjalani hidup dengan lebih baik melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, menumbuhkan rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, peduli lingkungan, dan bertanggung jawab, yang harus ditanamkan kepada peserta didik. Itulah sejatinya fungsi guru sebagai akronim untuk menjadi yang digugu dan ditiru.
Segala daya upaya untuk mengembalikan marwah guru sebagai pendidik professional, pada hakekatnya merupakan bentuk ikhtiar yang dilakukan oleh semua pihak tak terkecuali pemerintah, supaya secara signifikan dapat meningkatnya mutu kompetensi pendidik, dan terutama kualitas hasil belajar peserta didik, sehingga akan berdampak kepada membaiknya mutu pendidikan secara nasional, sekaligus memberi efek bergulir pada meningkatnya capaian nilai PISA atapun TIMSS yang merupakan indikator keberhasilan capaian kualitas prestasi akademik peserta didik di tingkat internasional. Dengan demikian negara yang setiap tahunnya menggelontorkan anggaran program sertifikasi guru, bukan lagi menjadi sesuatu hal yang cuma-cuma.
Diakhir tulisan, melalui momentum memperingati hari Guru tahun ini yang berthemakan “Bangkitkan Semangat, Wujudkan Merdeka Belajar”. Tak lupa kami sampaikan ucapan “Selamat Hari Guru Nasional”. Semoga dengan makin bertaburannya pendidik-pendidik professional di negeri tercinta ini, dapat membekali peserta didik kelak menjadi generasi emas Indonesia di Tahun 2045, dengan segala kecakapan abad ke-21 yang dimiliki.
*) Penulis, Staf TU Sekretariat Direktorat Jenderal GTK