BANYAK stakeholder pendidikan masih bertanya-tanya, bagaimana mengimplementasikan kebijakan Merdeka Belajar dan Guru Penggerak di tingkat sekolah. Ini harus menjadi peluang untuk membuat banyak inovasi dan kreativitas sehingga kebijakan ini bisa dilaksanakan dan betul terasa bedanya.
Saya kira, sekarang waktu yang tepat untuk berinovasi apa saja yang bisa dilakukan untuk mengisi kebijakan tersebut. Di era otonomi yang sudah berjalan 19 tahun, tentu ini menjadi tantangan dan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menjadi dirinya sendiri dengan kekhasanya dalam kerangka membangun pendidikan berkualitas di bawah kerangka NKRI.
Inovasi bisa dimulai dengan memberdayakan pemerintah daerah mengimplementasikan standar proses berbasis kearifan lokal. Seperti kita pahami, standar proses merupakan salah satu acuan dari delapan standar yang harus diikuti secara nasional sebagai bentuk dari kebijakan pemerintah pusat dalam mengatur standar nasional pendidikan.
Dalam mengimplementasikan standar proses, harus mengacu kompetensi dasar (KD) dalam rangka mencapai standar kompetensi lulusan (SKL) yang sudah ditentukan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Penerjemahan dari pelaksanaan standar proses di kelas, seorang guru harus membuat RPP untuk mencapai setiap indikator pencapaian dari setiap pokok bahasan. Apa yang ada dalam RPP, kemudian guru mencari buku acuan yang digunakan untuk PBM di kelas.
Dalam proses belajar mengajar di kelas (sebagian besar sekolah dan pendidik), masih banyak menggunakan satu buku (buku paket/buku babon) yang dipakai sebagai acuan untuk mengajar di kelas. Biasanya, buku paket yang disusun oleh pemerintah dan digandakan oleh masyarakat. Dalam hal ini, buku paket K-13 yang dipakai di semua sekolah.
Memang, sekolah-sekolah favorit (sekolah mampu) menggunakan beberapa buku karena orang tua mereka mampu membeli buku sesuai dengan acuan yang sudah ditulis dalam RPP dan ditentukan oleh guru dan sekolah.
Dengan menggunakan satu buku paket yang disusun secara nasional, bisa dibayangkan proses belajar mengajar (PBM) berlangsung sangat standar karena menggunakan buku yang sama. Bapak/ibu guru terpaku pada satu buku dan ini berlangsung sampai saat ini pada sebagian besar sekolah di seluruh tanah air.
Dengan keragaman kemampuan dan latar belakang siswa yang berbeda, sudah waktunya para guru diberi kesempatan mengelola kelas dengan pendekatan kontekstual sesuai dengan kondisi daerah dan lingkungan mereka.
Pendekatan one size policy fit for all (satu kebijakan berlaku untuk semua) sudah harus mulai ditinggalkan untuk hal-hal yang sifatnya implementasi. Ini juga salah satu cara mempraktikkan Merdeka Belajar dan Guru Penggerak. Pemerintah daerah diberi kebebasan untuk memberdayakan gurunya untuk mencapai pembangunan pendidikan yang berkualitas.
Setiap wilayah/region perlu membuat buku paket/babon berbasis kontekstual dengan menyerap kearifan lokal di setiap wilayah. Buku yang sudah disusun dan disahkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Balitbang, dilatihkan kepada guru bagaimana cara pembelajaran berbasis kontekstual. Pelatihan sangat penting untuk memastikan bapak/ibu guru bisa mempraktikkan pembelajaran kontekstual dengan baik dan benar.
Dengan cara inilah, kita bisa membantu daerah mewujudkan desentralisasi pendidikan karena daerah mampu menyusun buku berbasis kontekstual dengan menyerap local wisdom (kearifan lokal) yang secara turun-temurun ada di setiap wilayah.
Bisa dibayangkan, PBM akan sangat dinamis dan student center learning activities (cara belajar berbasis aktifitas berpusat pada siswa) bisa dijalankan dengan baik dan benar. Dinas pendidikan bersama-sama sekolah mensupervisi untuk memastikan PBM berjalan sesuai dengan apa yang sudah diharapkan.
Guru bisa memberikan fasilitasi dengan menggunakan buku paket berbasis kontekstual dan juga bisa menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Siswa akan lebih mudah mencerna karena media ajar yang dipakai guru menggunakan lingkungan sekitar wilayah dan sekolah.
Tahapan ini penting dan strategis sebagai tanda adanya perubahan fungsi otonomi, yaitu sebuah lompatan kapasitas pemerintah daerah, dari sekadar pelaksana kebijakan, menjadi pembuat kebijakan untuk kemajuan pendidikan di wilayahnya.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah pusat?
Pemerintah pusat memberi pelatihan sesuai dengan kebutuhan daerah, antara lain pelatihan untuk menyusun buku berbasis kontekstual dan menyediakan ahli untuk mendampingi selama penulisan sampai tuntas. Pelatihan ini melibatkan guru-guru terbaik yang ada di wilayahnya.
Di samping itu, pemerintah pusat juga melatih Guru Inti yang nantinya bertugas memberi pelatihan kepada guru lainnya agar mampu menggunakan buku paket/babon dengan baik. Dengan jumlah guru di Indonesia yang sangat besar dan kapasitas guru sangat beragam, kita perlu membuat metode pelatihan yang cocok sesuai kondisi daerah.
Penguatan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) dan Tim Pengembang Evaluasi/Penilaian(TPE/P) di daerah perlu diperkuat. Penguatan perlu dilakukan karena tim ini akan menjadi ujung tombak perbaikan kualitas pendidikan di masing-masing daerah. Guru Inti bisa menjadi anggota tim yang terdiri guru mata pelajaran dan ahli pendidikan.
Pemerintah pusat memberikan kapasitas secara berkelanjutan dan berjenjang sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal-hal yang bersifat inovasi seperti STEM (science, technology, enginering, and math), HOTS (high order thinking skills), pendidikan pada era Industri 4.0 dan perkembangan lainnya menjadi bagian yang dilatihkan kepada mereka.
Saya yakin betul, bila ini bisa dipersiapkan dengan baik dan dengan komitmen yang tinggi, penyiapan generasi emas 2045 bukan suatu yang sulit untuk kita wujudkan. Generasi yang dipersiapkan dengan baik dalam rangka membangun peradaban Indonesia menuju Indonesia maju dan berkarakter.
Sebagai akhir tulisan, saya ingin mengutip ungkapan Steve Job yang sangat terkenal "the only way to win is innovation". Marilah kita terjemahkan bahwa salah satu cara merealisasikan Merdeka Belajar dan Guru Penggerak adalah dengan berinovasi dan kreasi. Melakukan sesuatu yang baru untuk perubahan dan perbaikan.
Semoga bisa menjadi pemikiran kita bersama. (*)
Didik Suhardi, Ph.D., Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)