BOS bukan julukan seseorang yang banyak uang atau orang yang kaya raya. BOS yang dimaksud di sini adalah Bantuan Operasional Sekolah, yaitu dana khusus dari APBN yang diperuntukkan bagi sekolah/madrasah di seluruh Indonesia.
Mengapa ada dana BOS?
Tahun 2001, ketika terbit UU Otonomi Daerah, dilaksanakan desentralisasi yang di antara wujudnya adalah penyerahan urusan pendidikan (sekolah) kepada pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat hanya mengurusi SNPK (standar, norma, prosedur, kebijakan). Urusan 3M (man, money, material) sumber daya manusia, anggaran, dan aset diserahkan kepada pemerintah daerah. Peran provinsi terkait hal ini, yaitu bertindak sebagai koordinator.
Selama empat tahun pelaksanaan otonomi, banyak sekolah di hampir seluruh tanah air tidak terurus dengan baik, proses belajar mengajar (PBM) berjalan seadanya, serta fasilitas sekolah banyak yang rusak. Hal ini terjadi di antaranya karena sekolah kekurangan biaya operasional karena pemerintah daerah tidak memberikan anggaran yang cukup, bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang tidak memberi anggaran sama sekali. Padahal, apapun kondisinya, proses belajar mengajar harus tetap berjalan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi di sekolah? Akhirnya, orang tua dan masyarakat yang menjadi sasaran. Sekolah menarik dana dari masyarakat sehingga mereka terbebani. Hal yang lebih memprihatinkan adalah sekolah-sekolah yang berada di lingkungan masyarakat kurang mampu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Proses belajar mengajar berjalan apa adanya. Implikasinya, kualitas pendidikan pun menurun.
Karena banyaknya keluhan, baik dari sekolah maupun masyarakat, bahkan dari dinas pendidikan sendiri, DPR dan pemerintah sepakat menganggarkan bantuan operasional sekolah dengan tujuan agar Standar Pelayanan Minimal (SPM) dapat dijalankan oleh sekolah tanpa membebani masyarakat.
Pada awal Juli 2005 (saat itu Dirjennya Prof. Suyanto, Ph.D.), BOS mulai diluncurkan. Awalnya, dana BOS dianggarkan di pusat dan dikelola oleh pusat. Prosesnya berjalan lancar walaupun masih ada pelanggaran dan penyimpangan yang dilalukan di beberapa sekolah. Proses belajar-mengajar pun sudah bisa berjalan normal.
Beberapa daerah yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan ikut serta dalam program ini dengan memberikan BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) yang anggarannya diambilkan dari APBD. Dampaknya, sekolah penerima BOSDA dapat memberikan layanan lebih baik dilihat dari sudut pandang SPM.
Antara anggaran yang besar dengan kualitas tidak selamanya berkorelasi positif. Oleh karena itu, dalam pengelolaan BOS, diperlukan kualitas belanja (quality spending). Belanja yang transparan, jelas, dan sesuai prioritas dengan integritas yang tinggi, akan mendukung pelaksanaan PBM dapat berjalan lebih baik, sehingga terjadi peningkatan kualitas layanan di sekolah.
Mekanisme pengelolaan dana BOS berubah mulai tahun 2011 dengan pertimbangan untuk menyeimbangkan postur anggaran sesuai asas desentralisasi money follow function. Dana BOS pun dimasukkan dalam pengelolaan daerah, sehingga anggaran BOS masuk sebagai pengeluaran daerah. Aturan baru ini memang agak rumit, prosedurnya lebih panjang karena birokrasinya jadi bertingkat. Dengan sistem baru ini, dana BOS dikelola oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Keuangan bertanggungjawab penyaluran anggaran ke pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri bertanggungjawab atas pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran, dan Kementerian Pendidikan bertanggungjawab terhadap peruntukan/penggunaan anggaran.
Harus diakui, ini periode yang sulit bagi sekolah, sehingga sering sekali anggaran BOS macet dan terlambat diterima sekolah. Akibatnya, sekolah banyak yang berhutang kepada pihak ketiga. Lebih celaka lagi, kalau berhutangnya kepada rentenir dengan risiko memberikan bunga.
Perubahan besar terjadi pada tahun 2020, di mana dana BOS disalurkan langsung dari Kementerian Keuangan ke sekolah. Tentu ini terobosan luar biasa yang dilakukan pemerintah karena jelas memotong birokrasi yang tadinya sangat rumit. Semoga dengan mekanisme baru ini, tidak ada lagi hambatan penyaluran dana BOS ke sekolah.
Harapannya, terobosan bagus ini juga diikuti tata kelola dana BOS yang lebih baik. Caranya, adalah perencanaan penganggaran di sekolah dengan transaksi belanja sekolah harus dikontrol dengan sistem yang baik dan transparan sehingga kualitas belanjanya terjaga.
SIPLAH (Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah) yang sudah digunakan di Kemdikbud sejak tahun 2019 bisa menjadi salah satu embrio untuk memperbaiki tata kelola anggaran di sekolah. Sosialisasi kepada sekolah tentang penggunaan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel harus digencarkan.
Tentu saja akan lebih berjalan bagus jika mulai rencana anggaran, transaksi, hingga pelaporan keuangan sekolah dibuat satu sistem yang terintegrasi sehingga semua pengelolaan sumber daya di sekolah dapat dikontrol dan dianalisis dengan cermat. Pemerintah akan punya Big Data untuk melihat secara cermat dan menganalisis komponen-komponen apa saja yang paling banyak memerlukan anggaran di sekolah. Dengan data ini, juga dapat dilakukan analisis pembiayaan pendidikan, sejauh mana komponen biaya pendidikan berkorelasi dengan kualitas pendidikan di sekolah.
Pada akhirnya, pemerintah akan bisa membuat peta mutu dari Big Data tersebut dapat membuat rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk mencontoh suatu sekolah atau pemerintah daerah yang sudah bisa mengelola dana BOS dengan baik. Di samping itu, pemerintah juga bisa memberikan rekomendasi komponen-komponen mana yang harus diprioritaskan untuk dibelanjakan dan berpengaruh langsung terhadap kualitas dan layanan pendidikan.
Harapannya, semoga BOS betul-betul dapat menghasilkan kualitas pendidikan yang baik, mencetak SDM yang berkualitas, hingga kemudian menghasilkan bos-bos (orang-orang besar) yang memimpin Indonesia dengan baik, bijak, berkarakter. (*)
Didik Suhardi, Ph.D., Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)