TKI Malaysia dan Pendidikan Putra-Putrinya

Didik Suhardi, Ph.D.
Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)

Suyanto.id–Pendidikan dasar adalah hak setiap anak di mana pun mereka berada. Ini sesuai kesepakatan internasional dalam rangka melindungi hak mereka dan untuk mempersiapkan kehidupannya kelak.

Hal tersebut berlaku juga terhadap jutaan warga negara Indonesia yang menjadi TKI di Malaysia. Rata-rata mereka bekerja di kebun sawit dan sektor informal. Awalnya, TKI datang sendiri-sendiri tanpa membawa keluarga. Sesuai peraturan ketenagakerjaan Malaysia, warga negara asing tidak diizinkan membawa keluarga. Ketika sudah bekerja, di antara mereka akhirnya menikah dan mempunyai anak. Oleh karena itulah, saat ini ada puluhan ribu anak Indonesia di negara jiran tersebut.

Secara hukum, anak-anak tersebut stateless (tidak punya warga negara). Orang tua mereka menikah sah, tapi anaknya dianggap tidak sah. Berkat adanya pemutihan, sebagian besar dari mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan.

Lalu, bagaimana pendidikan anak-anak TKI? Pada dasarnya, anak-anak bisa bersekolah dengan sistem pendidikan Malaysia. Akan tetapi, banyak di antaranya tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan lembaga pendidikan setempat.

Selama di kebun sawit, pendidikan anak-anak ditangani oleh LSM Hummana (dikelola warga negara Filipina) yang bekerja sama dengan perusahaan sawit untuk mengajari calistung (baca tulis hitung). Program ini mirip dengan pemberantasan buta huruf di Indonesia tahun 80-an.

Mengindonesiakan anak Indonesia

Mulai tahun 2006, ketika itu Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Bambang Sudibyo, pemerintah membuka CLC (community learning centre) yang isinya program penyetaraan (Paket A, B, dan C) bekerja sama dengan LSM. Selanjutnya tahun 2010, dibuka CLC SMP Terbuka (pendidikan formal) yang sampai sekarang jumlahnya mencapai 120-an dan menampung puluhan ribu anak-anak Indonesia di ladang-ladang sawit dan pinggiran kota. Alhamdulillah, sebagian besar CLC sudah disetujui keberadaannya oleh Pemerintah Malaysia.

Mengapa mengindonesiakan anak Indonesia?

Pendidikan adalah salah satu modal hidup yang harus diberikan kepada anak bangsa untuk survive pada masanya. Melalui pendidikan, diajarkan pengetahuan, bersosialisasi, berkomunikasi, berlatih, dan menanamkan sikap serta keterampilan untuk modal hidupnya.

 

Seorang guru muda Indonesia berfoto bersama anak-anak TKI di Kinabalu/Kemdikbud

 

Pemerintah telah bekerja keras dalam memberikan pendidikan pada TKI di Malaysia. Mereka diberi pendidikan yang layak sampai sekarang. Di Kota Kinabalu, misalnya, sudah didirikan SMA dan SMK. Sebagian di antaranya juga dikirim ke Indonesia melalui program Adem (Afirmasi Pendidikan Menengah) dan Adik (Afirmasi Pendidikan Tinggi) sehingga di antaranya bisa kuliah di universitas-universitas ternama di Indonesia.

Saat ini, sebagian dari anak-anak TKI tersebut menempuh semester akhir di beberapa perguruan tinggi. Kita doakan mereka menjadi inspirator bagi anak-anak TKI lain untuk menempuh kehidupan yang lebih baik untuk masa depannya.

Program ini dianggap sukses. Pemerintah Filipina pun berniat mencontoh untuk diterapkan kepada warganya yang juga banyak tinggal di Malaysia.

Dari program pendidikan bagi anak-anak TKI di Malaysia tersebut, ada beberapa hal penting yang menjadi catatan.

  1. Menangani pendidikan di Indonesia tidak bisa menggunakan pendekatan one fit policy for all. Indonesia sangat besar dan penduduknya menyebar sampai ke luar negeri.
  2. Bagi keluarga yang kurang mampu, seperti sebagian besar para TKI kita di Sabah, Malaysia, memerlukan keberpihakan pemerintah yang lebih besar sehingga mereka mendapat layanan pendidikan yang baik seperti teman-teman mereka di Indonesia.
  3. Ketika diberi kesempatan yang sama, siswa dari keluarga yang kurang mampu juga bisa berprestasi sangat baik. Mereka tidak kalah dengan teman-temannya dari keluarga mampu.
  4. Semoga program ini tetap berlanjut demi mengindonesiakan anak Indonesia dan kehidupan mereka lebih baik.

Tangerang, 13 April 2020