Husain Tuasikal Majukan Pendidikan Islam Maluku dari Pondok Pesantren

Halaman : 15
Edisi 66/Mei 2024

Semangat Husain Tuasikal tak pernah gentar dalam mengangkat derajat dan martabat masyarakat Pulau Haruku, Maluku, dari kebodohan dan keterbelakangan. Berlatar belakang keluarga dengan kepedulian tinggi terhadap pendidikan agama, pria kelahiran 10 Desember 1918 ini mendirikan pondok pesantren yang bernama Nadil Ulumuddinayah Ori. Ia mulai merintisnya dengan pengajian baca tulis Alquran di rumah keluarga yang bernama Wartaa di Desa Pelauw dan dibantu seorang temannya yaitu Ustaz Talib Tuanaya.

 

DALAM proses merintis pondok pesantren itu, Husain Tuasikal harus berjuang keras hingga nyawa menjadi taruhannya. Pada 1937, terjadi pertikaian antara penganut Islam Syariat dengan Islam Adat, hingga penganut Islam Syariat diusir dan rumahnya dibakar karena dianggap sebagai ancaman kelestarian ajaran Islam Adat. Saat itu, Husain Tuasikal ditemukan di pantai dalam kondisi pingsan dan terluka sekujur tubuhnya, untungnya dia diselamatkan oleh warga Negeri Kariuw, kampung tetangga yang penduduknya beragama Nasrani.

Setelah peristiwa nahas itu, Husain Tausikal dibawa ke Desa Kailolo, Maluku, untuk dirawat selama tiga puluh lima bulan. Saat keadaan mulai aman, para penganut Islam Syariat yang terusir bersepakat untuk mencari tempat tinggal baru dan diberi nama oRI (orang Republik Indonesia), yang berjarak hanya empat kilo meter dari Desa Pelauw yang dipisahkan oleh Desa Kariuw, Maluku.

Di oRI, pria kelahiran Desa Pelauw itu melanjutkan perjuangan merintis pesantren tetapi usahanya terhenti selama dua tahun akibat dari pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Husain Tausikal pun menjadi target penangkapan hingga dipenjara selama dua tahun di Ambon, Maluku, pada 1950--1952. Setelah bebas pada 1953, pria bernama lengkap Muhammad Husain A. Kalam ini bersama keluarga Latuconsina, Tuanaya, Tuasikal, Salampessy, dan Latupono mendirikan Pondok Pesantren Nadil Ulumuddiniyah (Nadil Ulum) yang terdiri dari madrasah ibtidaiyah (MI) dan pendidikan guru agama (PGA). Bermula dengan peserta didik dari keluarga para pendiri, semakin lama pesantren berkembang dan peserta didik datang dari berbagai negeri dari pulau sekitar, seperti Saparua dan Seram.

Baca Juga: Abdullah Sang Pahlawan Pendidikan Pulau Air Mas

Pada awal pendiriannya, PGA hanya ditempuh selama empat tahun, namun dikembangkan menjadi enam tahun. Dalam proses pendidikan di pesantren, untuk pelajaran umum Husain Tuasikal menggunakan jasa Kristen di sekitar, yaitu Hulaliu dan Kariuw. Seluruh pembiayaan pesantren saat itu berasal dari usaha bersama perkebunan seperti cengkih dan kayu bakar, bahkan harta keluarga para pendiri pesantren itu pun ikut disumbangkan.

Dari waktu ke waktu akhirnya Pondok Pesantren Nadil Ulum berkembang dan mempunyai cabang di empat daerah yaitu Nadil Ulum II di Iha Saparua, Nadil Ulum III di Sirisory Islam, Saparua, Nadil Ulum IV di Sepa, Seram, dan Nadil Ulum V di Kabauw, Pulau Haruku. Semua cabang tersebut pada awalnya masih setingkat MI, namun pada tahun berikutnya dikembangkan ke tingkat lebih tinggi. 

Berbagai penghargaan di bidang pendidikan juga pernah diraih Husain Tuasikal, yaitu ditetapkan sebagai guru teladan oleh Menteri Agama Mukti Ali pada 15 Agustus 1977. Selain itu, dia juga mendapat dua penghargaan sekaligus saat Hari Kemerdekaan Indonesia tahun 1977, yaitu sebagai guru teladan yang diberikan oleh Ibu Tien Suharto dan Sjarif Thajeb, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hingga kini, banyak pempimpin yang lahir dari Pondok Pesantren Nadil Ulum dan berkiprah di Maluku hingga tingkat nasional seperti angota Majelis Permusyawaratan Rakyat, guru besar, hakim, dan lain-lain. (pRM)

Ditulis oleh Husni Rahman, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Maluku, diambil dari berbagai sumber.