Utamakan Keselamatan Masyarakat dan Kondisi Psikososial Anak
Kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19 memiliki dua prinsip. Pertama, prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran adalah kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat. Kedua, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19. Penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 kemudian fokus pada dua hal, yaitu perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning dan implementasi kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus.
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Penyesuaian Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, pemerintah memutuskan untuk memperluas pembelajaran tatap muka hingga zona kuning. Sebelumnya, dalam SKB tentang Panduan Pembelajaran pada Tahun Ajaran Baru dan Tahun Akademi Baru di Masa Pandemi Covid-19, pembelajaran tatap muka hanya diperbolehkan di zona hijau. Keempat menteri yang mengeluarkan kedua SKB tersebut adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan.
Tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19. Banyak satuan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) sangat kesulitan untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena minimnya akses. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan psikososial anak secara permanen. Saat ini, sebanyak 88 persen dari keseluruhan daerah 3T berada di zona kuning dan hijau. Dengan adanya penyesuaian SKB ini, maka satuan pendidikan yang siap dan ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka memiliki opsi untuk melaksanakannya secara bertahap dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun bagi daerah yang berada di zona oranye dan merah tetap dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan dan melanjutkan kegiatan belajar dari rumah. Berdasarkan data per 23 Agustus 2020 dari http://covid19.go.id, terdapat sekitar 48 persen peserta didik masih berada di zona merah dan oranye. Sementara itu, sekitar 52 persen peserta didik berada di zona kuning dan hijau.
Prosedur pengambilan keputusan pembelajaran tatap muka di zona kuning dan hijau, tetap dilakukan secara bertingkat seperti pada SKB sebelumnya. Pemerintah daerah, kantor atau kantor perwakilan (kanwil) Kementerian Agama, dan sekolah, memiliki kewenangan penuh untuk menentukan apakah daerah atau sekolahnya dapat mulai melakukan pembelajaran tatap muka. Jadi ketika suatu daerah sudah berada di zona hijau atau kuning, tidak serta merta daerah atau sekolah bisa langsung memulai pembelajaran tatap muka kembali.
Walaupun berada di zona hijau dan kuning, satuan pendidikan tidak dapat melakukan pembelajaran tatap muka tanpa adanya persetujuan dari empat pihak, yaitu pemerintah daerah atau kantor wilayah (kanwil) Kementerian Agama, kepala sekolah (setelah sekolah dapat memenuhi protokol kesehatan yang ketat), adanya persetujuan komite sekolah, dan adanya persetujuan dari orang tua peserta didik. Walaupun kemudian sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka, persyaratan terakhir tetap harus ada persetujuan dari orang tua peserta didik. Jika orang tua tidak setuju, maka peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksa.
Dalam SKB tentang Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, tahapan pembelajaran tatap muka satuan pendidikan di zona hijau dan zona kuning dilakukan secara bersamaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan pertimbangan risiko kesehatan yang tidak berbeda untuk kelompok umur pada dua jenjang tersebut. Sementara itu untuk PAUD dapat memulai pembelajaran tatap muka paling cepat dua bulan setelah jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pembelajaran tatap muka dilakukan secara bertahap dengan syarat 30-50 persen dari standar peserta didik per kelas. Untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dengan standar awal 28-36 peserta didik per kelas, dikurangi menjadi 18 peserta didik. Untuk Sekolah Luar Biasa (SLB), yang awalnya 5-8 peserta didik per kelas, menjadi 5 peserta didik. Kemudian untuk PAUD, dari standar awal 15 peserta didik per kelas, menjadi 5 peserta didik. Begitu pula jumlah hari dan jam belajar menjadi dikurangi, dengan sistem pergiliran rombongan belajar (shift) yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan.
Sementara itu, untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan zona kuning, dapat membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka sejak masa transisi. Kapasitas asrama pun dibatasi. Bagi asrama dengan jumlah peserta didik kurang dari atau sama dengan 100 orang, pada masa transisi bulan pertama adalah 50 persen, bulan kedua 100 persen, kemudian terus dilanjutkan 100 persen pada masa kebiasaan baru. Untuk kapasitas asrama dengan jumlah peserta didik lebih dari 100 orang, pada masa transisi bulan pertama 25 persen, dan bulan kedua 50 persen, kemudian memasuki masa kebiasaan baru pada bulan ketiga 75 persen, dan bulan keempat 100 persen.
Jika satuan pendidikan terindikasi dalam kondisi tidak aman atau tingkat risiko daerah berubah, maka pemerintah daerah wajib menutup kembali satuan pendidikan. Implementasi dan evaluasi pembelajaran tatap muka adalah tanggung jawab pemerintah daerah yang didukung oleh pemerintah pusat. Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota, bersama dengan Kepala Satuan Pendidikan wajib berkoordinasi terus dengan satuan tugas percepatan penanganan Covid-19 guna memantau tingkat risiko Covid-19 di daerah.
Satuan pendidikan dapat melakukan pembelajaran tatap muka dengan persetujuan dari empat pihak, yaitu pemerintah daerah atau Kanwil Kementerian Agama, kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua peserta didik.
Implementasi Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus
Bersamaan dengan dikeluarkannya SKB Empat Menteri tentang Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, Kemendikbud juga meluncurkan kebijakan Implementasi Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Dalam kebijakan ini, sekolah diberi fleksibilitas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa dalam kondisi khusus. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam kondisi khusus. Kondisi khusus adalah suatu keadaan bencana yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 mencantumkan bahwa penuntasan kurikulum tidak diwajibkan. Kebijakan ini juga berimplikasi pada ketentuan kenaikan kelas atau kelulusan. Satuan pendidikan dalam kondisi khusus tidak diwajibkan untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas atau kelulusan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, satuan pendidikan dalam kondisi khusus memiliki tiga opsi untuk mengimplementasikan kurikulum. Pertama, tetap mengacu pada kurikulum nasional yang selama ini dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Kedua, satuan pendidikan mengacu pada kurikulum nasional yang disederhanakan untuk kondisi khusus yang ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud (untuk jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah berbentuk SMA) atau Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (untuk jenjang pendidikan menengah yang berbentuk SMK). Ketiga, melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Keputusan untuk memilih salah satu dari tiga opsi tersebut dalam implementasi kurikulum pada kondisi khusus, diputuskan oleh satuan pendidikan melalui kepala sekolah sebagai pengambil keputusan. Namun proses pengambilan keputusan tersebut tetap harus melalui rapat bersama dengan para guru.