Aksara Korea dalam Bahasa Daerah Ciacia

Halaman : 29
Edisi 65/Juni 2023

Oleh: Mikka Wildha Nurrochsyam Peneliti pada Pusat Penelitian dan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud

Bahasa Ciacia merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ciacia di Sulawesi Tenggara. Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara pada Agustus 2009 memutuskan kebijakan mengadaptasi aksara Korea (Hangeul) menjadi aksara Ciacia karena bahasa Ciacia tidak mempunyai aksara sendiri. Keputusan itu menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Sekitar tahun 2010 masyarakat dunia berpaling kepada kelompok kecil masyarakat Ciacia di Kota Baubau. Saat itu Wali Kota Baubau menetapkan keputusan kontroversial untuk mengadaptasi aksara Korea (Hangeul) menjadi aksara Ciacia -yang selanjutnya dikenal sebagai aksara yang sudah terpengaruh oleh Hangeul. Adaptasi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan tentang bagaimana melestarikan bahasa daerah yang bertebaran di seluruh penjuru kota Baubau.

Bahasa Ciacia merupakan bahasa tutur yang digunakan oleh masyarakat Ciacia. Penutur bahasa Ciacia kurang lebih 93.000 penutur. Namun, masyarakat Ciacia tidak memiliki budaya tulis. Satusatunya tradisi tulis masyarakat Ciacia ditemukan dalam kutika, yaitu semacam coretan-coretan yang ditorehkan pada sepotong papan kayu atau kertas yang mirip sebagai simbol. Kutika pada umumnya dimiliki oleh orang yang dituakan dalam masyarakat (La Ali, wawancara, 18 Desember 2013).

Kebijakan menggunakan aksara Korea bermula dari sebuah Simposium Internasional Pernaskahan ke-9 pada 5-8 Agustus 2005. Seusai simposium, ketika para peserta melakukan wisata keliling kota, Chun Tai-Hyun, seorang ahli

Bahasa Malaysia dan sekaligus sebagai Ketua Departemen Hunmin Jeonggeum Masyarakat Korea, bercanda bahwa bahasa lokal yang didengarnya di sini mengingatkan pada Korea. Dikatakannya bahwa aksara Hangeul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Ciacia yang sedang mengalami kepunahan. Pernyataan Chun Tai-Hyun segera direspons positif oleh Wali Kota Baubau (Song, 2013).

Secara khusus penelitian ini melihat kasus adaptasi aksara Korea dalam perspektif etika diskursus, yakni melihat bagaimanakah konsesus tanpa tekanan dalam suasana pengertian dilakukan secara adil untuk keberterimaan aksara Korea dari pendukung bahasa Ciacia. Sampai saat penelitian tentang adaptasi Korea dalam perspektif etika diskursus belum ada yang melakukan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, yakni memperdalam kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia. Penelitian juga didukung dengan studi pustaka. Penelitian berlokasi di Kota Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara sebagai tempat terjadinya kasus adaptasi aksara Korea. Waktu penelitian diselenggarakan selama tujuh hari dari tanggal 15 sampai dengan 21 Desember 2013.

Dua Pandangan Berbeda

Kebijakan pemerintah Kota Baubau untuk mengadaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia ditindaklanjuti dengan himbauan wali kota untuk mendokumentasikan budaya masyarakat Ciacia dengan aksara Ciacia. Melalui sarana dan pemanfaatan aksara yang baru ini, maka bahasa, karya sastra, cerita rakyat, sejarah dan budaya masyarakat Ciacia diharapkan dapat didokumentasikan dengan baik. Beberapa papan nama jalan di kecamatan Sorawolio ditulis dengan aksara Korea. Pemerintah Kota Baubau juga telah melakukan kebijakan pembelajaran aksara Ciacia yang notebene aksara Korea itu untuk masuk dalam kurikulum muatan lokal. Pembelajaran muatan lokal telah dilaksanakan di dua Sekolah Dasar di Sorawolio dan Bugi.

Seiring dengan adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia, telah dibuka wacana ilmiah, antara lain  untuk mendiskusikan upaya pelestarian bahasa daerah, seperti Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara pada Juli 2010, di Sulawesi Tenggara. Di dalam kertas kerjanya Tamin (2010) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan yang saling bersaing dan menunjukan posisi pikiran masing-masing.

Kelompok pertama melihat bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang statis. Pandangan ini ingin mempertahankan nilai-nilai asli. Kelompok ini cenderung anti-perubahan dan tidak bersedia menerima hal-hal yang baru. Sebaliknya, kelompok kedua berpandangan bahwa kebudayaan berjalan dinamik dan terus berdialektika sepanjang sejarah. Kebudayaan terus berkembang agar tidak mengalami kepunahan. Kebijakan penggunaan aksara Ciacia yang baru itu telah memunculkan perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra. Masing-masing mengklaim mempunyai tujuan yang sama, yakni ingin

melestarikan bahasa Ciacia. Di antara yang pro mempunyai alasan.

Pertama, bahwa budaya tidak statis tetapi terus berkembang, bahasa juga berkembang. Mereka berargumen bahwa adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia itu sangat dimungkinkan, seperti dinamika yang terjadi pada masa lalu juga terjadi adaptasi aksara Arab menjadi aksara Buri Wolio – aksara yang digunakan untuk menuturkan bahasa Wolio. Kenyataannya dengan adaptasi aksara Arab tidak membuat masyarakat mempunyai identitas budaya Arab. Kedua, aksara Ciacia yang diadaptasi dari aksara Korea tidak akan mengubah bahasa Ciacia karena yang diadaptasi hanya aksara saja tidak akan mempengaruhi budaya masyarakatnya. Ketiga, penggunaan aksara Ciacia merupakan upaya untuk mencegah kepunahan bahasa Ciacia sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Penggunaan aksara ini dianggap dapat memicu generasi muda meminati bahasa daerah Ciacia. Kelompok yang setuju terhadap adaptasi aksara Korea ini, antara lain tokoh adat dua suku yang menggunakan bahasa Ciacia yaitu Laporo dan Kaisabu di Kecamatan Sorawolio. Para tokoh adat secara langsung menandatangani berita acara persetujuan penggunaan aksara Hangeul dalam Bahasa Ciacia Laporo dan Ciacia Kaisabu di Kecamatan Sorawolio.

Para birokrat pada umumnya setuju dengan adaptasi aksara Korea. Adaptasi ini dianggap memberikan dampak positif, di antaranya kesempatan berkunjung ke Korea Selatan bagi pemuda dan pemudi di Kota ini. Kelompok masyarakat lain yang setuju terhadap adaptasi di antaranya ialah para guru, dan murid-murid yang secara langsung merasakan dampak kebijakan yang dinilai positif, sehingga pada umumnya mereka bersikap mendukung adaptasi, kendati tidak seluruh aspek disetujui.

Di sisi lain, kelompok yang memiliki pandangan yang menolak adaptasi aksara Korea, beralasan: pertama, masuknya aksara Korea ke dalam bahasa Ciacia justru mengakibatkan percampuran bahasa antara bahasa Ciacia dan bahasa Korea, yang akhirnya akan diikuti oleh masuknya kosa kata dan istilah bahasa Korea dalam bahasa Ciacia. Kedua, sebaiknya aksara yang lebih tepat untuk diadaptasi sesuai dengan konteks sejarah dan budaya masyarakat Ciacia, yakni aksara Buri Wolio. Masyarakat Ciacia tentu lebih mudah menggunakan aksara Buri Wolio karena relasi sosial masyarakat Ciacia sangat intens dengan masyarakat yang berbahasa Wolio. Aksara Buri Wolio pun akan mudah dipelajari oleh anak-anak karena mereka mempunyai kebiasaan mengaji.

Ketiga, aksara Buri Wolio telah mengakar, melalui sebuah proses sejarah dan akulturasi yang panjang dalam konteks kehidupan sosial dan masyarakat Buton. Adaptasi aksara Arab melalui proses yang tidak instan tetapi didasarkan atas kebutuhan komunikasi masyarakat pada masa

lalu, bukan karena kebijakan dari penguasa yang diperuntukan untuk masyarakatnya. Keempat, keputusan penggunaan aksara Ciacia tidak melibatkan penutur bahasa Ciacia lainnya, seperti di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Wabula, dan tempat lainnya yang tersebar di Indonesia.

Kelompok yang tidak setuju terhadap kasus adaptasi aksara Korea, di antaranya seorang pakar linguistik dari Baubau. Dikatakannya bahwa kebijakan untuk mengadaptasi aksara Korea tidak tepat karena tidak sesuai dengan kultur masyarakat Ciacia. Tradisi dan budaya masyarakat Ciacia adalah budaya Wolio, bahasa induknya adalah bahasa Wolio.

Berdasarkan basis keilmuan yang dimiliki para ahli linguistik umumnya tidak setuju dengan adaptasi aksara Korea. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan seorang peneliti dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara yang mengatakan bahwa adaptasi aksara Hungeul ini dilakukan dengan tidak secara alamiah, tetapi disengaja.

Penyelesaian Etika Diskursus

Bertolak dari persoalan pro dan kontra tersebut, perlu dilihat dalam perspektif etika diskursus. Masingmasing pihak perlu membuka diri secara bersama memperbincangan persoalan pelestarian aksara Ciacia untuk mencapai saling pengertian. Penyelesaian etika diskursus pernah ditawarkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (Hanna, 2010) yang menyatakan bahwa penggunaan aksara Hangeul perlu melalui penelitian dan kajian yang mendalam dan komprehensif. 

“Penggunaan aksara Hangeul dalam Bahasa Ciacia perlu melibatkan masyarakat khususnya penutur bahasa Ciacia yang tersebar di seluruh penjuru wilayah Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Wakatobi, bukan hanya dari pengambil dan penentu kebijakan semata. Kebijakan penggunaan aksara Hangeul (Korea) terlalu terburu-buru. Kebijakan ini diambil tanpa melalui survei dan penelitian yang mendalam mengenai keberterimaan masyarakat bahasa Ciacia terhadap aksara Hangeul”. Demikian tawaran Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (Hanna, 2010).

Prinsip diskursus (D) dapat diperlihatkan dengan melakukan diskursus untuk mencapai konsesus di antara partisipan, yakni masyarakat Ciacia sebagai pendukung budaya Ciaca untuk mencapai kesepakatan menerima atau menolaknya. Karena itu hanya norma yang telah dilaksanakan berdasarkan diskursus praktis adalah norma yang dapat diakui kebenarannya.

Berdasarkan prinsip ini berarti pertimbangan pelestarian Ciacia yang telah dilakukan penguniversalan (U) hendaknya dapat dilakukan diskursus praktis. Peserta diskursus adalah pihak-pihak yang terikat dengan keberaksaraan Ciacia, tidak hanya di Kota Baubau, tetapi diskursus praktis perlu melibatkan masyarakat Ciacia di luar Kota Baubau.

Ruang Publik

Tampaknya kasus adaptasi aksara Korea ini belum sampai melibatkan diskursus praktis, yang mana semua pihak yang terikat dengan keberaksaraan Ciacia dilibatkan untuk mencapai saling pengertian. Di dalam diskursus praktis itu ruang publik menjadi penting. Kasus adaptasi aksara Korea tidak sepenuhnya dibuka ruang publik untuk para anggota masyarakat Ciacia agar dapat berpartisipasi menentukan kebijakan pemerintah Kota Baubau yang terkait dengan budaya Ciacia.

Etika diskursus dapat menjadi prosedur untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang terkait dengan pelestarian budaya secara baik dan adil. Pemerintah pusat dan daerah selayaknya membuka saluran-saluran ruang publik untuk menyampaikan pendapat yang bebas dari tekanan dari pihak manapun sebagai kekuatan untuk menyelesaikan persoalan pelestarian budaya. Ruang publik memerlukan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan di bidang kebudayaan, seperti yang dikenal dengan budaya musyawarah yang sudah dijalankan sejak lama oleh masyarakat Indonesia. (*)