Kenali Kendala Pelaksanaan Evaluasi Diri Sekolah

Halaman : 29
Edisi 65/Juni 2023

Kenali Kendala Pelaksanaan Evaluasi Diri Sekolah

Oleh: Hendarman

Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud

Pelaksanaan evaluasi diri sekolah (EDS) pada kenyataannya masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan, khususnya terkait dengan perencanaan pengembangan sekolah dan manajemen berbasis sekolah. Mustikasari (2011) mengatakan bahwa peran pengawas dalam implementasi EDS di satuan pendidikan dapat dikatakan belum optimal, meskipun tidak terjadi pada semua pengawas sekolah di seluruh Indonesia.

Pada kajian ini, 62 responden yang terdiri dari guru dan kepala sekolah asal Bogor, Sukabumi, Bekasi, dan Depok menilai tim pengawas sekolah mereka belum mampu bekerja secara efektif. Pengawas sebagai ujung tombak kegiatan belum cukup kuat untuk menggerakan sekolah melakukan EDS baik secara emosi, kompetensi, dan keberpihakannya.

EDS pada intinya memberikan kesempatan pada sekolah untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sebagai dasar penyusunan rencana�pengembangan�lebih�lanjut di sekolah tersebut. Di�samping�itu, dengan EDS, sekolah juga diharapkan mampu mengenal peluang memperbaiki mutu pendidikan, menilai keberhasilan dalam upaya peningkatan mutu, dan melakukan penyesuaian program-program yang ada serta dapat mengetahui tantangan yang dihadapi dan mendiagnosis jenis kebutuhan yang diperlukan untuk perbaikan.

EDS dimaksudkan sebagai proses pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan, sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi. Melalui EDS, sekolah juga dapat merumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara bertahap, sistematis, dan terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas. Langkah proaktif itu sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.

Pada 2013 lalu, pemetaan mutu pendidikan dengan mengikuti pola EDS ini mulai dilaksanakan dengan sasaran semua satuan pendidikan dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pemetaan ini diharapkan dapat berfungsi ganda sebagai acuan dalam melakukan evaluasi diri di tingkat sekolah serta sekaligus memetakan mutu pendidikan pada tingkat daerah maupun tingkat pusat.

Namun, kenyataannya sekolah-sekolah cenderung membuat nilai EDS semaksimal mungkin agar penilaian sekolah tidak buruk sehingga budaya mutu menjadi target sampingan yang terkadang terlupakan. Selain itu, terdapat perbedaan persepsi antara guru dan sekolah, guru beranggapan bahwa EDS yang ada digunakan bukan sebagai dasar penyusunan Rencana Penganggaran Sekolah (RPS). Persepsi lainnya, EDS dianggap sebagai beban tambahan baru yang memberatkan tugas sekolah dan Tim Pengembangan Sekolah (TPS).

Sekolah-sekolah beranggapan bahwa instrumen EDS terlalu banyak dan beberapa kali mengalami perubahan format sehingga menimbulkan kejenuhan serta membingungkan dalam pengisiannya. Hal lainnya yaitu pertanyaan yang tercantum dalam instrumen EDS masih menimbulkan penafsiran ganda dan jumlahnya tidak mewakili ruang lingkup EDS sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi, kesulitan menjawab, dan banyak pertanyaan yang tidak diisi karena pertanyaan yang tidak sesuai dengan status siswa dan bahasa yang digunakan dianggap terlalu tinggi.

Dari segi infrastruktur, masih ada sekolah yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas. Beberapa diantaranya yakni lambatnya jaringan internet di sekolah untuk mengunggah data EDS dalam jaringan (daring), terbatasnya kemampuan operator sekolah, struktur basis data yang belum memudahkan untuk diolah, dan lainnya.

Kepala sekolah sebagai ketua Tim Pengembangan Sekolah (TPS) memiliki peran penting untuk memotivasi seluruh anggota TPS agar bekerja secara maksimal. Namun, menurut responden kepala sekolah jarang menghadiri loka karya yang berkaitan dengan kegiatan EDS. Tak hanya itu, yang mengkhawatirkan lagi yaitu pengawas sekolah tidak benar-benar mendampingi TPS di sekolah binaannya untuk mengisi dan menganalisis EDS.

Dari segi administrasi, EDS cenderung dianggap sebagai beban tambahan sekolah dan hasilnya belum dimanfaatkan secara optimal dalam penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah. Tak hanya itu, masih ada sekolah yang takut mengisi data dalam EDS secara jujur karena dianggap sebagai penilaian kinerja dan prestasi sekolah.

Munculnya sejumlah kendala di atas merupakan implikasi dari tiga hal, yaitu pelaksanaan sosialisasi belum berhasil sepenuhnya, komitmen sekolah melaksanakan EDS masih rendah karena masih belum merasakan manfaatnya, dan kerja sama yang lebih erat serta komunikasi yang lebih intensif antara pendamping, pengawas, dan pihak sekolah masih belum terwujud.

Dalam mengatasi kendala-kendala dalam penerapan EDS mensyaratkan adanya sinergi, koordinasi dan komitmen antara pemangku kepentingan di tingkat daerah maupun pusat sesuai dengan wewenang masing-masing. Keberadaan kebijakan khusus untuk penerapan EDS dalam bentuk peraturan daerah, baik peraturan bupati atau peraturan walikota, menjadi salah satu alternatif solusi yang efektif.

Peraturan daerah itu menjadi payung hukum untuk memberdayakan dan mengoptimalkan peran pengawas sekolah dalam penerapan EDS dengan rasio pengawas dan sekolah dampingan yang proporsional. Peraturan itu juga sekaligus menjadi dasar bagi sekolah untuk mengusulkan dalam penganggaran sekolah untuk menjamin pelaksanaan EDS yang efektif, efisien, dan akuntabel. (ABG)