Pengaruh PISA dalam Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia

Halaman : 30
Edisi 67/Juni 2024

Oleh: Indah Pratiwi, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam hasil asesmen PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia dinilai belum berhasil dalam memberikan sistem pendidikan yang tepat di mata dunia. Indonesia merasa perlu untuk mengubah kebijakan kurikulum agar meningkatkan kualitas pendidikan sehingga dapat meningkatkan skor PISA. Mengapa demikian? Yuk, simak kajian berikut ini!

PISA adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa. Program ini diinisiasi oleh negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) sejak tahun 2000. Subjek asesmen PISA terdiri atas tes literasi dasar dalam bidang membaca, matematika, dan sains tanpa melihat pada kurikulum nasional, yang diujikan kepada siswa yang berusia 15 tahun melalui random sampling.

PISA diselenggarakan untuk membantu negara-negara dalam mempersiapkan sumber daya manusia agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan dalam pasar internasional. Setiap tiga tahun PISA mengeluarkan hasil asesmennya. Hasil asesmen ini dianggap mencerminkan kualitas pendidikan negara tersebut.

Jika hasilnya baik dan negara tersebut mampu berada di level atas dalam indeks capaian maka dianggap sebagai negara yang memiliki standar pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional. Sebaliknya, jika negara tersebut memperoleh hasil di bawah rata-rata dan menempati level bawah dalam indeks PISA maka dianggap memiliki kualitas pendidikan di bawah standar kebutuhan pasar global dan dituntut untuk segera membenahi sistem pendidikan nasionalnya.

Sejak tahun 2000 Indonesia telah menjadi partisipan PISA. Namun selama 15 tahun hasil PISA Indonesia masih berada pada level bawah dibandingkan dengan negara partisipan lainnya. Hal ini terlihat dari capaian Indonesia pada tahun 2015 yang hanya berada pada peringkat 64 dari 69 negara partisipan (oecd.org, 2016).

Deretan angka merah yang dihasilkan Indonesia membuat pemerintah selalu mendapat tekanan publik karena dianggap belum berhasil dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Untuk itu, Indonesia merasa perlu mengubah kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa dengan asumsi bahwa meningkatkan kualitas pendidikan akan sama dengan meningkatkan skor PISA.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar menghasilkan generasi yang siap dalam pasar internasional adalah dengan mengubah kurikulum. Tujuannya adalah agar Indonesia mampu menebus ketertinggalan yang salah satunya dibuktikan melalui asesmen PISA.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana program PISA mempengaruhi perubahan kurikulum pendidikan Indonesia agar sejalan dengan sejumlah aspek yang diujikan dalam tes tersebut? Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keputusan kebijakan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia yang sejalan dengan PISA.

Keterkaitan Indeks PISA dengan Kurikulum

Analisis penelitian yang dilakukan dalam kajian kualitatif ini adalah untuk menganalisis keterkaitan indeks PISA dengan kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kajian ini mendeskripsikan bagaimana kebijakan kurikulum di Indonesia berubah seiring dengan rilis PISA setiap tiga tahun. Data diperoleh selama enam bulan melalui studi pustaka dari berbagai sumber literatur. Kajian studi pustaka ini dilakukan di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud Balitbang, Kemendikbud) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober 2018 sampai dengan Maret 2019.

Data penelitian berasal dari jurnal atau hasil kajian sebelumnya untuk melihat bagaimana pengaruh PISA dalam mengubah sistem pendidikan di negara-negara partisipan. Data juga diperoleh dari dokumen-dokumen yang tersedia di Kemendikbud untuk melihat perubahan arah kebijakan terutama sejak Indonesia tergabung menjadi negara partisipan PISA. Selain itu, ditelusuri juga data yang bersumber dari pemberitaan media massa nasional, untuk memperkuat deskripsi mengenai proses perubahan sistem pendidikan di Indonesia serta melihat bagaimana publik mempengaruhi kebijakan kurikulum di Indonesia.

Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara. Pertama, membandingkan berbagai perubahan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh negara-negara partisipan PISA dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kedua, membandingkan berbagai kebijakan kurikulum di Indonesia sebelum dan setelah tergabung dalam negara partisipan PISA.

Hasil PISA akan menunjukkan dua hal, yaitu: 1) capaian skor seluruh negara partisipan; 2) peringkat yang diperoleh dengan membandingkan capaian skor antarnegara. Karena capaian Indonesia selama 15 tahun bergabung menjadi partisipan PISA selalu berada di level bawah, kualitas pendidikan Indonesia dianggap masih sangat rendah jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara-negara partisipan lainnya.

Dorongan internal yang berasal dari pemberitaan media tentang capaian PISA Indonesia, sekaligus mengkritik kurikulum yang dianggap gagal, membuat Indonesia merasa perlu mengubah kurikulum agar sejalan dengan PISA. Hal ini terbukti dari: 1) PISA dijadikan acuan dalam rencana strategis (Renstra); 2) adanya perubahan kurikulum yang sejalan dengan PISA; dan 3) hasil evaluasi atas kurikulum menggunakan soal HOTS (higher order thinking skill) atau soal serupa dengan soal pengujian PISA.

Perubahan Kurikulum

PISA telah sukses mendorong perubahan kurikulum pendidikan secara nasional. Perubahan kurikulum pendidikan Indonesia rutin terjadi setelah hasil asesmen PISA terbit, yaitu: 1) Perubahan kurikulum pada tahun 2004, lebih memfokuskan kepada kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum berbasis kompetensi ini menekankan pada pengembangan kompetensi dan tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan; 2) Perubahan kurikulum pada tahun 2006 setelah enam tahun Indonesia menjadi partisipan PISA, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberikan kebebasan lebih kepada guru untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah; 3) Kurikulum 2013 pendekatan pembelajaran ditekankan kepada kompetensi siswa sesuai dengan amanat yang disampaikan dalam PISA. Kurikulum ini dikembangkan berdasarkan faktor-faktor eksternal salah satunya adalah arus globalisasi dan rendahnya capaian nilai pendidikan Indonesia dalam TIMSS dan PISA.

Tidak hanya perubahan kurikulum, dalam merespons PISA kebijakan pendidikan Indonesia yang dilakukan yaitu memberikan muatan soal HOTS. Soal HOTS dirancang untuk berfikir aplikatif dalam pembelajaranya. Dengan ini diharapkan siswa mampu mengaplikasikan yang diketahui dan menjadi solusi bagi permasalahan di kehidupan sehari-hari. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan secara tidak langsung bahwa penambahan nilai HOTS pada ujian nasional tahun 2018 merupakan respons Indonesia terkait dengan capaian PISA “…pembelajaran matematika Indonesia masih kurang tepat. Standar PISA menggunakan sistem pendidikan HOTS sementara Indonesia masih menggunakan LOTS sehingga tidak nyambung.” (Rizal, 2018).

Sejumlah dokumen dan pernyataan Mendikbud terkait perubahan kurikulum membuktikan bahwa PISA memiliki pengaruh yang kuat dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari konsekuensi logis dari bergabungnya Indonesia dalam WTO (World Trade Organization) yang menyetujui pendidikan Indonesia berbasis pasar. Akibatnya standar PISA juga konsekuensi yang harus dijalani Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan kompetensi di pasar internasional.

Jika negara tersebut memperoleh hasil di bawah rata-rata dan menempati level bawah dalam indeks PISA maka dianggap memiliki kualitas pendidikan di bawah standar kebutuhan pasar global dan dituntut untuk segera membenahi sistem pendidikan nasionalnya.

Dampak Bila Terlalu Berorientasi pada Capaian PISA

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa capaian PISA memberi andil pada perubahan kebijakan kurikulum di Indonesia. Namun beberapa kemungkinan dapat terjadi jika kebijakan pendidikan di Indonesia terlalu berorientasi pada capaian PISA.

Rasionalitas tentang PISA merupakan gambaran nyata tentang keterkaitan pendidikan dengan neoliberalisme, yaitu memiliki potensi adanya kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah (Bøyum, 2014). Jika masih ada kesenjangan fasilitas dan kualitas pendidikan maka Indonesia akan terus menjadi objek yang tertindas oleh kekuatan pasar.

PISA telah sukses mendorong perubahan kurikulum pendidikan secara nasional. Dalam merespons PISA, kebijakan pendidikan Indonesia tidak hanya melakukan perubahan kurikulum, tetapi juga memberikan muatan soal HOTS.

Kurikulum di Indonesia yang selalu berubah karena tuntutan pasar untuk menguasai keahlian tertentu membuat makna filosofis pendidikan tentang transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai budaya menjadi kehilangan makna. Penelitian ini menyarankan bahwa pada setiap perubahan kurikulum yang harus diperhatikan, juga mengenai kontekstualisasi Indonesia.

Ukuran keberhasilan siswa sebaiknya bukan dinilai dari hasil PISA semata karena PISA masih bias dengan budaya. Sesuai dengan amanat PISA bahwa pembelajaran harus mampu memberikan solusi bagi permasalahan siswa di kehidupannya sehari-hari. Penilaian pendidikan tidak bisa dilakukan secara seragam namun harus dilihat satu per satu masalah pada konteks pendidikan praktis yang beragam. (INT)

Ditulis ulang dari penelitian yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Volume 4, Nomor 1, 2019

Pembaca dapat membaca utuh penelitian di atas dengan membuka tautan dibawah.

https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/1157