Strategi Penjangkauan Anak Tidak Sekolah Melalui PIP

Halaman : 38
Edisi 68/November2024

Oleh: Herlinawati Syaukat dan Arie Budi Susanto

Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan

Salah satu peruntukkan Program Indonesia Pintar (PIP) adalah menjangkau anak tidak sekolah (ATS) untuk kembali ke sekolah. Di Indonesia jumlah ATS masih cukup besar. Lalu bagaimana sebaiknya pemerintah menyusun strategi agar lebih banyak ATS yang terjangkau program ini? Kajian berikut berusaha untuk menjawab persoalan tersebut dan memberikan alternatif saran dan rekomendasi bagi pemerintah.

Keadilan adalah keadaan pada manusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Keadilan dalam hal ini berarti bahwa adanya persamaan  hak terhadap akses pendidikan bagi semua orang yang tanpa memandang apapun, termasuk akses pendidikan terhadap keluarga yang tingkat ekonominya rendah.

Tidak menyekolahkan anak, membiarkan anak tidak sekolah, tidak memberikan pendidikan   istimewa kepada anak yang berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk penelantaran anak dalam bidang pendidikan. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi  masalah tersebut, misalnya saja untuk faktor internal berasal dari dalam diri anak sendiri yang tidak menginginkanya suatu pendidikan. Kemudian faktor eksternal yaitu faktor dari lingkungannya, seperti keluarga yang kurang perhatian atau ketidakharmonisan dalam keluarga, serta kurangnya fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung untuk pembelajaran (Setiani, 2013).

Program Indonesia Pintar (PIP) adalah salah satu program nasional yang tercantum dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 (Bappenas, 2014) sebagai bentuk perwujudan Nawacita ke-5 yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

PIP diharapkan dapat meningkatkan akses bagi anak usia 6 sampai dengan 21 tahun untuk mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah dan mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop-out). Namun, meskipun PIP telah banyak dirasakan manfaatnya oleh peserta didik, belum semua anak mendapatkan manfaat Kartu Indonesia Pintar (KIP), sehingga perlu mendapat perhatian khususnya anak usia sekolah yang tidak sekolah yang tersebar di berbagai daerah.

Fenomena Anak Tidak Sekolah (ATS) masih belum tereksplorasi dengan baik, padahal jumlah ATS masih cukup besar. Saat ini, kebanyakan program pendidikan masih terfokus kepada anak yang masih berada di dalam lembaga pendidikan (preventif) sehingga perlu adanya kebijakan dan program yang juga dapat menjangkau ATS.

Berdasarkan hal itu, sasaran KIP ada dua, yang pertama untuk anak yang ada di sekolah dan kedua untuk anak yang ada di luar sekolah. Berdasarkan hasil diskusi terpumpun pada Pusat Penelitan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan dengan Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan, diperoleh informasi bahwa anak yang tidak sekolah itu jumlahnya masih cukup besar sekitar 4,1 juta anak.

Namun setelah dilakukan pencarian ke daerah-daerah pelosok berhasil didata dan dimasukan ke data Dapodikmas sebanyak 648 ribu, tetapi yang punya KIP hanya berjumlah 211 ribu orang. Permasalahan utamanya adalah bagaimana agar mereka dapat kembali ke sekolah, sehingga hal inilah yang dianggap paling urgen.

Permasalahan lainnya adalah bagaimana pendataan ATS dilakukan, faktor-faktor yang mempengaruhi ATS dan bagaimana upaya dan motivasi agar ATS mau kembali ke sekolah.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa memang pendataan ATS terkendala sinkronisasi data mulai dari tingkat desa. Untuk itu diperlukan mekanisme pendataan yang bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Metode Penelitian Deskriptif

Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini yaitu descriptive research yang bertujuan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada pendataan ATS yang telah berjalan saat ini serta bagaimana strategi pendataan ATS agar ATS tersebut mendapat layanan pendidikan di lembaga non-formal. Teknik sampling yang digunakan adalah mengurutkan jumlah ATS di semua provinsi, kemudian diambil empat provinsi yang memiliki jumlah ATS terbanyak.

Selanjutnya adalah mengurutkan kembali kota/kabupaten dari ke empat provinsi tersebut untuk kemudian diambil empat kota/kabupaten yang dijadikan sampel. Keempat kota/kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Bogor, Kota Surabaya, Kota Padang dan Kabupaten Gorontalo.

Teknik analisis data dalam kajian ini menggunakan teknik statistika deskriptif. Teknik statistika deskriptif digunakan untuk menabulasi, menghitung, dan menampilkan distribusi frekuensi untuk setiap item kuesioner dengan format pertanyaan/pernyataan tertutup. Output analisis statistika ini akan menampilkan frekuensi setiap aspek per- masalahan dan faktor-faktor penentu dalam pendataan ATS.

 

Terkendala Sinkronisasi Data

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa memang pendataan ATS terkendala sinkronisasi data mulai dari tingkat desa. Jumlah data ATS di empat kota/kabupaten tersebut jika dilihat dari kelompok usia 6-21 tahun sebanyak 19.700 anak, sementara data ATS yang sudah masuk sebagai penerima KIP pada tahun 2017 sebanyak 1.205 siswa atau 6,2 persen.

Dari ke empat kabupaten/kota tersebut, ada daerah yang rentan ATS dan berpotensi putus sekolah yaitu di Kabupaten Bogor daerah Barat, Kecamatan Cigudeg. Faktor penyebab ATS terbanyak adalah alasan ekonomi karena biaya sekolah masih dirasa mahal bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya banyak anak yang lebih memilih bekerja untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Faktor kedua adalah alasan geografis, karena lokasi sekolah jauh dari rumah sehingga anak-anak tidak mau sekolah. Faktor ketiga adalah pengaruh lingkungan sosial. Banyak anak tidak mau sekolah karena pengaruh lingkungan atau pergaulan dan menikah. Faktor ke empat adalah tidak adanya motivasi diri pada siswa, karena kemampuan akademis rendah, serta kurangnya motivasi pendidikan dari orang tua.

 

Kerja Sama dengan Perangkat Desa

Upaya  menarik ATS untuk kembali ke sekolah tidaklah mudah, walaupun telah disampaikan bahwa biaya sekolah gratis dan dibiayai oleh pemerintah. Untuk itu, upaya lain yang dilakukan adalah setiap lembaga pendidikan masyarakat bekerja sama dengan orang tua dan perangkat desa, RT/RW, mendorong dan memotivasi agar anak-anak kembali sekolah dengan memperoleh dana PIP.

Selain itu, perlu  ada jaminan bagi lembaga Dikmas (PKBM, LKP dan SKB) akan memperoleh dana pengelolaan bagi siswa pemegang KIP yang memperoleh PIP dan mengikuti pembelajaran di lembaganya, serta orang tua memotivasi anaknya agar bisa kembali ke sekolah.

Sebagai perbaikan dari masalah ini, Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah tentang pentingnya data ATS dalam rangka pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Pemerintah juga membuat petunjuk teknik pendataan dengan melibatkan kelompok belajar dan perangkat pemerintah daerah seperti camat dan luras/kades.

Selain itu, pemerintah daerah mendaftarkan dan mendistribusikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) anak elektronik kepada seluruh anak Indonesia, sehingga program mengidentifikasi  ATS lebih efektif. Dengan adanya kartu anak diharapkan dapat memudahkan anak dalam  mengurus berbagai dokumen kependudukan dan hak anak. (DNS)

Artikel ini ditulis ulang dari kajian berjudul “Strategi Penjangkauan Anak Tidak Sekolah melalui Program Indonesia Pintar (PIP)” yang diterbitkan dalam Jurnal Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 12 No. 1 (2019). Pembaca dapat mengakses kode QR berikut untuk membaca penelitian lebih lengkap. https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/litjak/article/view/284