Subak Bali, Situs Warisan Dunia yang Terancam Eksistensinya

Halaman : 30
Edisi 65/Juni 2023

Oleh:

I Made Geria, Surjono H, Widiatmaka, dan Rachman Kuriawan

Institut Pertanian Bogor, Bogor

Subak adalah sistem tata kelola irigasi tradisional yang menjadi pilar kebudayaan masyarakat Bali. Situs warisan dunia yang telah diakui UNESCO ini kini mulai mengalami permasalahan. Padahal subak adalah benteng peradaban Bali, yang merupakan sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungannya. Penelitian ini mencoba meninjau permasalahan yang terjadi serta melihat eksistensi peradaban subak dalam masyarakat Bali saat ini.

Budaya subak yang erat kaitannya dengan ritual sangat melekat dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Konsep dasar THK yang bersumber dari agama Hindu ini berkaitan dengan peradaban Bali sangat mempengaruhi perilaku subak dan aktivitas anggotanya dalam pembangunan pertanian di lahan sawah. Dalam tataran ritual dan kepercayaan budaya subak yang erat dengan konsep THK masih sangat efektif, namun muncul permasalahan yaitu degradasi alam yang berpotensi melemahkan harmonisasi antara masyarakat dan lingkungan di sejumlah subak. Degradasi alam yang terjadi di subak akibat konversi lahan, alih profesi, ekonomi yang lemah dan kurangnya ketertarikan dari generasi muda untuk melanjutkan keberadaan subak.

Menurut Windia dan Dewi (2011), THK yang merupakan landasan utama subak mengandung pengertian tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa (parhyangan), hubungan antarmanusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan). THK juga memiliki aspek budaya dengan nilai-nilai tradisional yang dianut dalam budaya subak. Nilai tradisional yang meliputi kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari agama Hindu, nilai gotong royong, nilai musyawarah mufakat, nilai awig-awig atau instrumen hukum adat yang berlaku dan nilai budaya lainnya.

Selain aspek budaya, peradaban subak juga terkait dengan aspek sosial. Menurut Sanderson (2000), ada tiga elemen dasar dalam sistem sosio-kultural, yaitu superstruktur, struktur sosial, dan infrastruktur material. Superstruktur meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir, melakukan konseptualisasi, menilai dan merasakan sesuatu, di dalamnya tercakup beberapa unsur di antaranya unsur umum, agama, ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan.

Sedangkan struktur sosial merupakan perilaku aktual manusia yang muncul dalam hubungan antarmanusia maupun dalam hubungan mereka dengan lingkungan alam (biofisik) yang meliputi beberapa unsur yaitu stratifikasi sosial, stratifikasi rasial dan etnik, kepolitikan, pembagian kerja secara seksual dan ketidaksamaan secara seksual, keluarga, dan kekerabatan, serta pendidikan. Terakhir, infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial yang berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur material terdiri atas empat unsur, yaitu teknologi, ekonomi, ekologi, dan demografi.

Ketiga elemen ini merupakah konsep yang sama secara filosofi dengan konsep THK, misalnya superstruktur sama dengan parahyangan, struktur sosial sama dengan pawongan, dan infrastruktur material sama dengan palemahan. Kedua konsep yang saling berkaitan ini digunakan dalam penelitian untuk melihat keberadaan budaya subak dalam masyarakat Bali saat ini. Penelitian ini juga membahas strategi kebijakan pengembangan peran subak sebagai destinasi wisata peradaban ekologi untuk menjaga keberlanjutan subak yang sesuai dengan konsep triple bottom line yang meliputi planet, people, dan profit.

Subak Bali merupakan banteng peradaban Bali yang menjadi sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungan sangat erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana.

Kawasan subak Sarbagita Bali yang terdiri dari wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan dipilih sebagai obyek penelitian karena merupakan kawasan yang menjadi daerah tujuan wisata dan pembangunannya berkembang pesat.

Masyarakat di Kawasan Sarbagita secara superstruktur saat ini tetap melaksanakan pelestarian lingkungan dengan sangat efektif dan memiliki eksistensi yang kuat. Hal ini terlihat dari aktivitas subak berupa pemujaan dan ritual di pura subak dengan tujuan pemuliaan alam. Upacara dan ritual seperti  adalah upacara magpag toya menjemput air secara ritual, adanya bangunan pemujaan atau pelinggih penyawangan di sawah untuk memuja keberadaan pura di tamblingan sebagai pusat sumber air, serta melakukan upacara saat akan memulai tanam padi, tetap perlu dipertahankan.

Organisasi subak adalah struktur sosial yang terbentuk dalam peradaban subak Bali. Organisasi subak bersifat otonom namun tidak mempunyai kaitan perintah dan tanggung jawab langsung kepada Lembaga lain di tingkat desa maupun kecamatan. Organisasi subak di Kawasan Sarbagita cukup efektif menjalankan komponen-komponen subak. Walau demikian, secara struktur sosial masyarakat di Kawasan ini mengalami pelemahan karena perubahan fungsi lahan yang semakin luas dan alih profesi masyarakat yang semakin meningkat.

Permasalahan yang timbul akibat degradasi lahan dan alih profesi masyarakat setempat mengancam eksistensi subak Bali. Oleh karena itu eco-cultural tourism dapat dijadikan solusi yang menyinergikan bidang pertanian dan pariwisata di peradaban subak.

Pada infrastruktur material, komponen yang utama adalah jaringan irigasi subak. Melalui sistem subak inilah para petani mendapatkan air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan secara musyawarah oleh masyarakat. Namun, akibat alih fungsi lahan, lahan sawah yang terus berkurang terutama pada daerah perkotaan menjadi masalah utama. Sehingga sebagian masyarakat khawatir tidak sanggup memenuhi kebutuhan mereka yang menyebabkan alih profesi dan generasi muda semakin tidak mau lagi bersubak.

Komitmen masyarakat dalam menjaga lingkungan dan budaya subak menjadi permasalahan utama. Oleh karena itu, eco-cultural tourism dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani permasalahan ini. Eco-cultural tourism adalah konsep di mana aspek ekologis dan budaya suatu wilayah digabungkan bersama-sama dan menciptakan surge wisata alam.

Konsep ini merupakan tujuan wisata di mana anugerah budaya dan alam menjadi daya tarik utama sehingga dianggap sebagai strategi potensial untuk mendukung konservasi habitat alam bersamaan dengan meningkatkan perekonomian bagi masyarakat setempat. Untuk meningkatkan peradaban subak Bali sebagai eco-cultural tourism, memerlukan strategi prioritas yaitu memanfaatkan kekuatan kearifan budaya subak untuk pengembangan dan peningkatan peran masyarakat Bali.

Memanfaatkan sistem religi yang kuat dipegang oleh masyarakat Bali masih menjadi bagian terpenting terutama dalam bidang konservasi lingkungan. Namun, bidang ekonomi juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena alih profesi masyarakat dari pertanian ke pariwisata dapat mengancam konservasi lingkungan subak. Dengan demikian, solusi subak Bali sebagai eco-cultural tourism dapat diimplementasikan untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata. (INT)

Ditulis ulang dari penelitian yang diterbitkan dalam Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 37 Nomor 1 Tahun 2019. Untuk mengakses penelitian lebih lengkap dapat mengunjungi laman berikut:  https://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/amerta/article/view/520/395