RM Jayadipura, Sang Maestro Budaya Jawa

Halaman : 16
Edisi 65/Juni 2023

Pendirian Sanggar Hermani pada 1908 menjadi titik awal dikenalnya kiprah seorang Raden Mas (RM) Jayadipura di bidang seni tradisional Jawa. Lembaga kursus kesenian tradisional Jawa itu dia dirikan bersama RM Prawiradipoera, Prawiraatmaja, dan Mr. Lie Djeng Kieem serta dikelola secara mandiri tetapi semakin hari anggotanya semakin bertambah banyak. Saat itu regenerasi seni serta kebudayaan Jawa secara umum memang belum banyak dilakukan masyarakat sehingga mereka prihatin dengan internalisasi budaya Jawa mulai dari seni musik, seni tari, seni dalang, dan lainnya.

SEjAk usIA muda RM Jayadipura telah mengabdikan diri untuk melestarikan seni tradisional Jawa khususnya di Yogyakarta selain melaksanakan tugas sebagai abdi dalem di Keraton Kesultanan Yogyakarta. RM Kobar nama kecilnya memiliki bakat, kecerdasan, keterampilan, dan ketekunan di bidang seni sehingga dia terkenal sebagai seniman serba bisa. Pria kelahiran 1878 ini menguasai berbagai bidang seni meliputi seni tari, seni karawitan, seni pedalangan, seni topeng, seni bangunan, seni patung, seni lukis, seni pahat, dan lainnya.

Pada 1919, putera kedua dari pasangan Raden Tumenggung Jayadipura (menjabat sebagai Bupati Bantul) dengan isteri keduanya Nyai Riya Segondo itu mendirikan sanggar kembali yang bernama Mardi Goena. Sanggar ini membuka kelas seni musik dan tari tradisional Jawa pada tahun 1926 bagi masyarakat. Selain itu sanggar Mardi Goena menyajikan pertunjukan tari bagi wisatawan yang dikemas dengan durasi sekitar dua jam dengan berbagai manifestasi dari tari Jawa yang gagah dan baik, sehingga menimbulkan kesan bahwa seni tari Jawa memiliki nilai estetis yang tinggi.

RM Jayadipura juga membuat kreasi tari topeng yang atraktif di hadapan para wisatawan dan menuai pujian, saking impresifnya menjadikan karya tersebut bagian dari inventaris kebudayaan keraton. oleh karena itu, pertunjukan yang diadakan di luar keraton harus mendapatkan izin dari sultan agar mendukung kelangsungan sanggar yang dikelola RM Jayadipura. Pertimbangannya yaitu kelak seni musik dan seni tari Jawa bisa dikenal masyarakat luas (khususnya wisatawan yang berkunjung ke Yogjakarta), sehingga apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisional Jawa semakin meningkat.

Pementasan seni tari Mardi Goena pernah diadakan ketika puluhan wisatawan eropa berkunjung ke Yogyakarta pada 20 Maret 1930. Momentum tepat untuk mengenalkan kebudayaan Jawa ini dimanfaatkan sebaikbaiknya oleh RM Jayadipura kepada mereka, satu diantaranya menyajikan pertunjukan wayang wong di malam hari setelah mereka berkunjung ke Borobudur. Kesan pertama bagi para wisatawan terhadap tari tradisional Jawa adalah aneh, namun setelah mereka menikmatinya hingga akhir pertunjukan justru mengubah kesan pertunjukan tari tersebut sebagai tari yang impresif.

Selain itu, RM Jayadipura juga bersedia menyajikan pertunjukan musik, tari tradisional, dan wayang orang dengan biaya yang moderat. Pertunjukan wayang orang merupakan pertunjukan yang asing bagi masyarakat Eropa, mengingat mereka berasal dari wilayah dengan kultur yang berbeda. Terkadang berbagai seruan dan komentar berupa apresisasi maupun kritik bahkan cemoohan datang dari para wisatawan. RM Jayadipura menerima hal itu sebagai tantangan agar pertunjukan wayang orang bisa tampil memukau dan memikat para wisatawan sehingga bisa dinikmati masyarakat serta mendapat apresiasi secara global.

Kontribusi RM Jayadipura lainnya ditunjukan dengan pendirian lembaga kursus kesenian musik dan tari tradisional Jawa yang bernama Beksa wirama bersama Pangeran Suryodiningrat, Pangeran Tedjokusumo, dan pangeran lainnya. Lembaga kursus ini memiliki cabang di Jakarta dan Malang sehingga digunakan Sultan Hamengku Buwono VIII untuk menyebarluaskan kesenian khas Keraton Yogyakarta yang kemudian berpadu dengan nasionalisme Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi lembaga ini untuk merekrut banyak anggota untuk belajar budaya Jawa karena kedekatan para tokoh Krida Beksa wirama dengan masyarakat.

Sebagai tokoh pelestari kesenian Jawa, RM Jayadipura juga mendirikan kursus dalang bekerja sama dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Java Instituut yang diberi nama Habiranda pada 1925. Kursus tersebut ditujukan untuk melatih dalang agar mampu membawakan cerita wayang dan permainan wayang secara atraktif. Kontribusi RM Jayadipura di bidang seni pedalangan lainnya adalah merancang alur pertunjukan wayang Purwa khusus dan menyingkatnya menjadi tiga jam dengan penyajian yang atraktif namun tetap berpedoman pada pakemnya di tahun 1930.

Inovasi dan kreasi RM Jayadipura juga ditunjukan pada seni topeng yang dapat dijumpai di Keratos Kesultanan Yogyakarta seperti topeng-topeng kera dalam Mandra wanara, topeng-topeng Rahwana, dan lainnya. Di bidang seni musik, dia membuat aransemen gendhing atau musik gamelan serta menulis notasi musik Jawa agar mudah dibaca. Tak hanya itu, di bidang seni bangunan pun RM Jayadipura mampu menghasilkan hamper semua bangunan baru di lingkungan Keraton Kesultanan Yogyakara di era Sultan Hamengkubuwono VIII seperti Bangsal Manis, Mandalasana, Regol Kastriyan, Regol wuni, dan lainnya.

Kunst mengungkapkan bahwa masih banyak yang diharapkan dari masa depan musik tradisional Jawa (karawitan). Hal ini terbukti dari banyaknya masyarakat yang tertarik akan musik Jawa setelah mereka menulis esai ilmiah  dengan tema  “de ontwikkelings mogelijkheden van de muziek op Java” (“kemungkinan perkembangan musik di Jawa”) yang dipresentasikan di Kongres kebudayaan Jawa, 1921 di Bandung.

RM Jayadipura juga bekerja sama dengan beberapa tokoh pendidikan, antara lain Ki Hajar Dewantara yang sering berdiskusi untuk memasukkan kurikulum kesenian tradisional dalam sekolah Taman Siswa. Dia juga turut berpartisipasi aktif dalam pengembangan sekolah Budi Utomo dengan menyewakan gedung kediamannya sebagai tempat sekolah. Beliau juga mengajar kesenian di sekolah tersebut.

Gagasan untuk mengembalikan budaya Jawa sebagai budaya yang memiliki nilai tinggi pada abad ke-20 menjadi ajang kontestasi pemerhati budaya Jawa, termasuk seniman serba bisa dari Keraton Kesultanan Yogyakarta, RM Jayadipura. Hasil karyanya tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di lingkungan keraton saja tetapi juga oleh wisatawan mancanegara (Amerika, Perancis, dan Belanda). Hal ini dimaksudkan agar kebudayaan Jawa terutama kesenian yang bernilai tinggi itu bisa dikenal secara luas. (aBG)

Ditulis oleh Indra Fibiona, Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, diambil dari buku R.M. Jayadipura, Maestro Budaya Jawa 1878-1939: Sebuah Biografi.