Mengawal Pengadaan 1 Juta Guru PPPK

Mengawal Pengadaan 1 Juta Guru PPPK

Oleh: Arizal, Analis Kebijakan Utama pada Kedeputian SDM Aparatur Menpan

Wooow, kereeen, great, dan “Menakjubkan”, satu kata yang tepat diberikan atas kebijakan Pemerintah yang akan melaksanakan pengadakan 1 juta guru PPPK  dalam rangka memenuhi kebutuhan/kekurangan guru secara nasional, yang dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2021 sampai dengan tahun 2023. Disamping itu, kebijakan tersebut dimaksudkan pula dalam rangka menyelesaikan permasalahan tenaga honorer guru yang sudah mengajar dalam kurun waktu yang rel;atif lama, yang menurut data Kementerian Dikbud jumlahnya mencapai 700.000 orang. Terhadap tenaga honorer tersebut, akan diberikan kesempatan 3 kali untuk dapat mengikuti seleksi bila tidak lulus dalam seleksi pertama dan kedua.

Sangat menakjubkan, karena dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, baru kali pertama dilaksanakan pengadaan guru dalam jumlah yang besar. Kekurangan tenaga pendidik dalam jumlah yang besar ini, mestinya tidak boleh terjadi. Disamping, dipastikan berdampak pada terganggunya proses belajar mengajar yang ujungnya berdampak terhadap kualitas pendidikan, dan dalam jangka panjang  dapat pula berpengaruh dalam mewujudkan atau “membangun sumber daya manusia (termasuk aparatur sipil negara)” yang berkualitas, yang merupakan salah satu dari 5 visi dan misi Presiden Joko Widodo-Maruf Amin (2021-2024). Timbul pertanyaan, koq bisa terjadi kekurangan guru dalam jumlah yang sangat besar tersebut. Padahal Kementerian PANRB yang berwenang dalam penetapan kebutuhan/formasi secara nasional selalu memprioritaskan sektor pelayanan dasar yakni bidang pendidikan dan kesehatan dalam pengadaan CPNS setiap tahunnya.

Berdasarkan data di Kementerian PAN-RB bahwa dalam kurun waktu 9 tahun yaitu mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 melalui PP 48/2005 jo PP 56/2007 sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 telah dilakukan seleksi (administratif) terhadap tenaga honorer dan telah diangkat menjadi CPNS sebanyak lebih kurang 1,2 juta orang, yang sebagian besar adalah tenaga guru dan tenaga administrasi. Jumlah tersebut relatif banyak, yakni mencapai 25% dari seluruh ASN yang ada di Republik ini.

Kebijakan Pemerintah dalam pengadaan 1 juta guru PPPK, patut diberikan apresiasi. Mengingat dalam berbagai kesempatan Rapat Kerja DPR RI, baik di Komisi II, Komisi X, dan Komisi Gabungan Pemerintah sering ditagih progres penyelesaian tenaga honorer, yang berujung wakil rakyat tersebut mengusulkan revisi terhadap UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dengan menambahkan pasal khusus yaitu “tenaga honorer, tenaga harian lepas, atau tenaga  lain yang sejenis dapat diangkat secara langsung/tanpa melalui proses seleksi menjadi CPNS, tidak hanya guru”. Hal ini menggambarkan bahwa permasalahan tenaga honorer (termasuk guru) sudah sejak lama menjadi permasalahan nasional, dan menjadi beban “politik” pemerintah, baik pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Berdasarkn ketentuan peraturan perundangundangan bahwa keberadaan tenaga honorer guru, termasuk honorer lainnya masih dimungkinkan sampai dengan akhir Nopember 2023. Artinya Pemerintah mempunyai kesempatan paling lama 3 tahun untuk menyelesaikan tenaga honorer guru dimaksud. Namun sangat disayangkan,  pengadaan 1 juta guru PPPK tersebut belum termasuk kebutuhan guru agama pada sekolah-sekolah di lingkup Kementerian Agama dan kebutuhan guru agama yang ada di sekolah-sekolah negeri di Pemerintah Daerah yang kewenangannya ada di Gubernur, Bupati dan Walikota.  

Materi atau substansi seleksi pengadaan guru PPPK, berbeda dengan seleksi guru CPNS, yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi (sosio kultural, manajerial, dan teknis). Terhadap pesesrta seleksi yang dinyatakan lulus tes kompetensi, selanjutnya diikutkan tes wawancara menggunakan CAT (untuk mengetahui moralitas dan integritas dari calon peserta). Hasil tes wawancara tersebut, dapat berpengaruh dalam penentuan kelulusan akhir, meskipun peserta seleksi sudah dinyatakan lulus administrasi dan lulus seleksi kompetensi. Materi seleksi yang demikian, tentu saja belum “familier” bagi tenaga honorer sehingga menjadi permasalahan tersendiri, dan berujung tidak berhasilnya mereka memenuhi passing grade/tidak lulus. 

Identifikasi Masalah
Berdasarkan informasi dan laporan yang sering disampaikan oleh sebagian besar pengelola kepegawaian dan pendidikan di daerah bahwa terjadinya kekurangan guru dalam jumlah yang besar itu, antara lain disebabkan oleh:

  1. Perpindahan guru yang tidak terkendali, dengan kata lain terjadi “mismanageable” pengelolaan guru. Terjadinya pengelolaan guru yang demikian, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya “invisible-hand”. Faktor ini sangat dominan mempengaruhi bahkan sampai “menekan” para Gubernur, Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang mempunyai kewenangan  mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN dalam posisi yang “dilematis”  untuk tidak mengabulkan bila ada usulan perpindahan guru dari sekolahsekolah yang ada di daerah terpencil, terluar dan tertinggal ke sekolah-sekolah yang ada di perkotaan;
  2. Masalah “kesejahteraan” antara guru yang mengajar di perkotaan dan yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
  3. Sebagian besar guru PNS adalah kaum wanita, yang tidak jarang pula sebagai isteri/anggota keluarga dari TNI/Polri dan pejabat/pegawai pemerintah lain;
  4. Adanya kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten, yang berimplikasi harus dibangun sekolahsekolah baru, yang kerap tidak diikuti dengan perencanaan kebutuhan/pengadaan tenaga gurunya.
  5. Adanya pengangkatan guru PNS ke dalam jabatan struktural yang kompetensinya tidak bersesuaian dengan jabatan yang diduduki;
  6. Adanya perbantuan/penugasan guru PNS pada sekolah-sekolah swasta;
  7. Formasi yang ditetapkan setiap tahun oleh Pemerintah tidak berbanding lurus dengan kebutuhan sekolah yang diusulkan oleh PPK Daerah.

Sebagai ilustrasi, penyebab terjadinya kekurangan guru adalah distribusi/perpindahan guru PNS yang tidak terkendali yang berakibat di satu sisi terjadinya kelebihan guru di sekolah-sekolah yang ada di perkotaaan, di sisi lain terjadi kekurangan guru di sekolah-sekolah yang ada di  daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Di samping itu, yang cukup berpengaruh karena faktor guru yang sebagian besar kaum wanita, yang tidak bisa tidak mengajukan pindah mengajar dengan alasan  mengikuti penugasan suami, mengurus orang tua yang sedang menderita sakit, dan aneka ragam alasan lain. Menghadapi usulan pindah seperti ini, PPK berada dalam posisi yang “dilematis”  dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan. Namun, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa keputusan yang diambil oleh sebagian besar PPK adalah “terpaksa” menyetujui karena faktor “invisible-hand” yang sampai saat ini masih saja berlanjut.

Di samping itu, masalah kesejahteraan menjadi faktor pandorong lain banyaknya guru PNS mengusulkan pindah ke sekolahsekolah yang ada di perkotaan. Sudah bukan rahasia umum bahwa guru yang mengajar di perkotaan, mempunyai kesempatan nyambi memberikan “les privat” yang tentu saja ada penghasilan tambahan dalam bentuk “rupiah”. Sedangkan bila mengajar di daerah terpencil, tertinggal, terluar, peluang untuk dapat memberikan “les privat” sangat kecil. Andaipun peluang itu ada, biasanya yang mereka terima bukan dalam bentuk “rupiah” melainkan dalalm bentuk yang lain seperti ubi, singkong, pisang, ayam dan lain sebagainya. 

Jalan pintas yang dilakukan oleh sebagian besar PPK Daerah dalam mengatasi kekurangan guru yaitu melakukan pengangkatan kembali tenaga honorer guru baru, yang secara teknis dilakukan oleh Kepala Dinas Dikbud, dan kerap pula dilakukan hanya oleh Kepala Sekolah tanpa sepengetahun PPK yang bersangkutan. Yang lebih memprihatin bahwa proses rekrutnya-pun tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, seperti  yang direkrut belum berijazah S.1. Dengan kata lain, pengangkatan guru honorer baru di satu sisi dapat “dipahami” agar proses belajar mengajar dapat berlangsung, di sisi lain PPK melakukan “pembiaran” terhadap guruguru yang menumpuk di sekolah-sekolah di perkotaan dam berakibat  in-efisiensi terhadap APBD. Demikian juga dengan praktek pengangkatan guru PNS menjadi pejabat struktural dan penugasan/perbantuan guru PNS ke sekolah-sekolah swasta sampai saat ini masih saja berlangsung. 

Dalam konteks pengadaan 1 juta guru PPPK, berdasarkan data di Kementerian PANRB, terdapat 1 Provinsi dan 21 Kabupaten/Kota yang belum merespon kebijakan dimaksud, dengan alasan ketidaksiapan APBD dalam hal gaji dan tunjangan guru PPPK. Pemerintah Daerah tersebut mengharapkan keseluruhan biaya pengadaan guru PPPK bersumber dari APBN. Permintaan ini secara peraturan perundangan tidak dimungkinkan. Berdasarkan pemetaan Kementerian Dikbud pada Pada Pemerintah-pemerintah Daerah tersebut masih terdapat kekurangan guru, yang selama ini diampu oleh para honorer guru yang telah mengajar dalam waktu yang relatif lama, serta memenuhi syarat untuk dapat diikutkan seleksi dalam program pengadaan 1 juta guru PPPK. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan bagi Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dan tidak tertutup kemungkinan permasalahannya berimbas/bergulir ke Kementerian PANRB dan Kementerian Dikbud.

Analisis/Solusi atas Permasalahan
Kebijakan Pemerintah melaksanakan pengadaan 1 juta guru PPPK patut diberikan apresiasi oleh kita semua selaku insan yang menginginkan terwujudnya hasil pendidikan yang berkualitas, yang kedepannya diharapkan mampu berdaya saing secara nasional, regional bahkan internasional. Demikian pula halnya dengan kebijakan pemberian 3 kali kesempatan mengikuti seleksi bagi tenaga honorer guru dan rencana adanya “pembekalan” sebelum seleksi patut pula diberikan penghargaan.  

Berbagai permasalahan yang ada sebagaimana dijelaskan di atas, diharapkan sudah ditemu-kenali dan sudah ada design/rancangan pemecahan permasalahannya oleh Pemerintah agar di satu sisi membangun SDM (guru) yang unggul sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang ASN dapat diwujudkan. Disisi lain, penyelesaian terhadap tenaga honorer (guru) yang sudah  mengajar dalam kurun waktu relatif lama, yang selama ini statusnya tidak jelas dapat terselesaikan agar tidak berkepanjangan menjadi beban “politik” Pemerintah. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan berbagai alternatif kebijakan afirmasi terhadap tenaga honorer guru yang mengikuti seleksi. Apabila kriteria penentuan kelulusan murni sesuai dengan passing grade seperti halnya diberlakukan untuk pelamar umum, ditengarai tingkat kelulusannya tidak banyak/maksimal,  tentu berdampak secara sosiologis dan psikologis bagi para tenaga honorer guru itu sendiri. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan saran pemikiran/solusi agar tingkat kelulusan tenaga honorer guru dapat lebih optimal, dan selanjutnya perlu “maintain”  agar supaya ”manajemen” guru PPPK dapat dijalankan/ditegakkan, dengan cara : 

  1. Diberikan afirmasi dalam penetapan kriteria kelulusan terhadap guru honorer, seperti memperhitungkan masa kerja sebagaimana diminta oleh forum-forum guru honorer (Kompas, 12 Maret 2021), bahkan lebih dari itu perlunya diberikan afirmasi tambahan bagi guru honorer yang mempunyai sertifikasi, terlebih lagi bagi guru honorer kategori disabilitas yang juga mempunyai sertifikasi. Apabila tidak diberikan afirmasi, dikhawatirkan para honorer guru tersebut tidak bisa memenuhi passing grade dan dinyatakan tidak lulus. Mengingat sebagian besar dari mereka dapat saja tidak optimal dalam mengapdate pengetahuan/ kompetensinya, menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, apalagi honorer guru yang telah lama mengajar di daerah terpencil, terluar dan tertinggal;
  2. Terhadap PPPK yang belum merespon, agar didorong atau “dipaksa” mengusulkan formasi dalam pengadaan guru PPPK tahun 2022. Dalam hal ketidak-tersediaan anggaran untuk pemberian “tunjangan” guru PPPK, sebenarnya dapat dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran anggaran “rutin” dengan cara mengurangi besaran Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang sudah diberikan kepada para pejabat dan semua PNS yang ada. Cara yang lain mengurangi anggaran biaya perjalanan dinas dengan melakukan pembatasan jumlah personil yang akan melakukan perjalanan dinas baik ke Instansi Pusat maupun ke Instansi Daerah lain, apalagi kegiatannya “hanya” sebatas studi banding, konsultasi, dan lain sebagainya yang sebenarnya bisa diperoleh  dengan cara tele-conference.
  3. Ditetapkan regulasi yang mengatur larangan perpindahan guru PPPK dari satu sekolah ke sekolah lain, dan terhadap PPK yang masih menyetujui perpindahan guru PPPK dengan alasan apapun diberikan sangsi yang tegas. Pentingnya penetapan regulasi ini agar tidak terulang lagi perpindahan guru dari sekolah-sekolah di daerah terpencil, terluar, tertinggal ke sekolahsekolah yang ada di perkotaan sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Diharapkan dengan regulasi tersebut menjadi dasar atau dapat membentengi PPK Daerah untuk tidak mengabulkan permohonan pindah meskipun dipengaruhi/ditekan oleh faktor invisible-hand. Bentuk regulasi, cukup dengan SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri PANRB, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, bila memungkinkan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Pemerintah);
  4. PPK Daerah diminta menetapkan kebijakan lokal dalam bentuk pemberian insentif tambahan (tunjangan kemahalan) terhadap guru PPPK yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan mengajar secara penuh di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
  5. Khusus permasalahan belum terakomodirnya kebutuhan guru agama, baik kebutuhan di sekolah-sekolah negeri di lingkungan Pemerintah Daerah maupun di lingkungan Kementerian Agama sendiri, dari sisi waktu masih dimungkinkan, dengan catatan Kementerian Agama mampu memetakan kebutuhan per sekolah dan memetakan guru honorer. Apabila tidak bisa dimasukkan dalam gerbong pengadaan 1 juta guru PPPK, Kementerian Agama segera merencanakannya secara komprehansif untuk pengadaan tahun 2022. Perencanaan tersebut, selanjutnya dibahas bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri PAN-RB, Menteri Dikbud dan BKN.    

Agar program pengadaan 1 juta guru PPPK ini  dapat dilaksanakan dengan lancar, diperlukan komitmen dari semua elemen masyarakat sehingga tujuan dan sasaran yang ingin dicapai Pemerintah dapat diwujudkan, melalui:

  1. Para Gubernur, Bupati dan Walikota mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pemberian “tunjangan” guru PPPK, anggaran pelaksanaan seleksi, dan biaya pendukung lainnya;
  2. Para tenaga honorer guru segera mempersiapkan diri sedini mungkin dengan cara mencari berbagai referensi agar dapat memenuhi nilai ambang batas “passing grade” untuk dapat dinyatakan lulus seleksi;
  3. Wakil rakyat, baik DPR RI/DPRD, DPD RI, PGRI dan semua organisasi profesi lain yang bergerak di bidang Pendidikan, serta forum-forum tenaga honorer guru yang ada di setiap Provinsi bahkan ada di setiap Kabupaten/Kota juga secara maksimal mendukung program pengadaan 1 juta guru PPPK.

Penutup
Kebijakan Pemerintah melaksanakan mengadakan 1 juta guru PPPK merupakan kebijakan strategis, mulia dan momentumnya juga sangat tepat dalam rangka menyelesaikan permasalahan kekurangan guru dan sekaligus secara bertahap menyelesaikan permasalahan guru honorer yang sudah mengajar dalam waktu relatif lama, yang menurut data Kem.Dikbud saat ini jumlahnya mencapai 700 ribuan. Oleh karenanya, dan dalam konteks membangun Sumber Daya Manusia (guru) yang unggul, yang menjadi salah satu prioritas Pemerintahan Presiden Jokowi periode II, sebaiknya keinginan beberapa pihak yang mendorong dilakukannya revisi UU 5/2014 dengan memasukkan klausul  “tenaga honorer, tenaga harian lepas,  dan tenaga dengan sebutan lainnya untuk diangkat secara langsung menjadi CPNS tanpa seleksi”  perlu dipertimbangkan lagi, atau diputuskan tidak perlu dilanjutkan. 

Diharapkan, setelah melalui berbagai  tahapan seleksi sebagaimana strategi yang diusulkan di atas disetui oleh Pemerintah, semata-mata dimaksudkan para tenaga honorer guru yang nantinya ikut seleksi dapat dinyatakan lulus dalam jumlahnya yang banyak/signifikan. Dengan diangkatnya guru honorer menjadi guru PPPK, status mereka yang selama ini “terkatung katung” menjadi jelas, termasuk kejelasan terkait dengan hak, kewajiban dan karier kedepan sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara.  Sekedar menengok ke belakang bahwa sudah sangat sering para tenaga honorer (guru) berdemonstrasi menuntut untuk diangkat secara langsung sebagai CPNS di depan Istana Presiden, di Kementerian PANRB, BKN dan Instansi Pemerintah lain, dipastikan menguras energi dari para tenaga honorer guru itu sendiri. Guru merupakan insan yang terpelajar, terhormat, dan berstatus sebagai “pendidik”, semestinya berada  di depan kelas, malah berdemonstrasi dan berteriak-teriak di jalanan yang tidak jarang menampilkan spanduk yang pesannya “kurang pantas”, merupakan pemandangan yang sungguh sangat menyedihkan, mengenaskan, menyayat hati, dan sekaligus sangat “memalukan”. Insyaallah dengan kebijakan pengadaan 1 juta guru PPPK, permasalahan yang mendasar yakni kekurangan guru dan permasalahan tenaga honorer (guru) dapat diselesaikan, “sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui”.  Bravo pemerintah… bravo tenaga honorer (guru), bravo anak bangsa.