Tujuh Isu Pokok Pemajuan Kebudayaan

Halaman : 20
Edisi 65/Juni 2023

Pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD) yang telah disusun oleh pemerintah daerah baik kabupaten/kota dan provinsi yang melibatkan masyarakatnya hingga pelaksanaan Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 telah terkumpul sebanyaj 300 PPKD Kabupaten/Kota dan 31 PPKD Provinsi. Terdapat tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan yang berhasil diidentifikasi dari dokumen-dokumen tersebut yang nantinya menjadi landasan penyusunan strategi kebudayaan Indonesia.

Isu pertama adalah pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat. Pergeseran identitas itu disebabkan beberapa hal meliputi terlalu lamanya wawasan kebangsaan menghilang di masyarakat, tidak meluas dan tidak meratanya akses masyarakat pada keanekaragaman budaya, belum terwujudnya mekanisme pengelolaan kebudayaan yang memperkuat peran kaum minoritas dan penyandang difabilitas. Selain itu dialog antar tata nilai yang berbeda dinilai kurang optimal, seperti antara penganut agama, penghayat kepercayaan, dan pelaku budaya tradisi.

Kedua, meredupnya khazanah tradisi dalam gelombang modernitas menjadi isu pokok dalam pemajuan kebudayaan. Hal ini karena masih kurangnya pelindungan terhadap keberagaman ekspresi budaya dan hak berkebudayaan masyarakat, khususnya ritus, adat istiadat, kesenian, dan kesusastraan. Kemudian belum adanya mekanisme pelindungan hak kekayaan intelektual (HKI) komunal yang berbeda dari HKI individual yang bias, khususnya berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi tradisional serta belum optimalnya pemanfaatan budaya modern dalam pemajuan budaya tradisi.

Baca Juga: Dokumen Strategi Kebudayaan Jadi Pedoman Kebudayaan Nasional

Ketiga, disrupsi teknologi informatika yang belum berhasil dipimpin oleh kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional juga menjadi isu pokok dalam pemajuan kebudayaan. Saat ini dunia global telah memasuki revolusi Industri 4.0 namun sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap menghadapinya. Indonesia masih sebatas sebagai pengguna teknologi, belum mampu menjadi pencipta. Selain itu Indonesia juga belum berhasil mengandalkan modal budaya sebagai basis inovasi kreatif lewat teknologi informatika, misalnya dalam hal pemanfaatan manuskrip, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Isu selanjutnya adalah pertukaran budaya yang timpang dalam tatanan global menjadikan Indonesia hanya sebagai konsumen budaya dunia. Paradigma pembangunan nasional yang masih memandang kebudayaan sebagai beban dan bukan sebagai investasi jangka panjang yang dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan umum lewat pemanfaatannya dalam bentuk ekonomi kreatif. Di samping itu, belum terbangunnya mekanisme pengakuan hak moral dan hak intelektual komunal untuk karya budaya yang diciptakan secara kolektif, seperti dalam kasus tradisi lisan.

Selain itu, isu pokok lainnya adalah belum terwujud pembangunan berbasis kebudayaan yang dapat menghindarkan penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem budaya. Reduksi kebudayaan menjadi pariwisata yang tidak mengindahkan daur hidup alam dan masyarakat adat di dalamnya. Akumulasi modal pun membuat irama hidup masyarakat berbenturan dengan irama hidup lingkungan.

Baca Juga: Gotong Royong Menuju Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan

Belum optimalnya tata kelembagaan bidang kebudayaan pun menjadi satu dari tujuh isu pokok tersebut. Ketakseragaman nomenklatur birokrasi pemerintah bidang kebudayaan di tingkat pusat dan daerah masih mempersulit koordinasi dan pengambilan kebijakan terpadu bidang kebudayaan. Ada juga ketaktersambungan antar kementerian/lembaga yang tugas dan fungsinya beririsan dengan bidang kebudayaan serta kurangnya regulasi di tingkat daerah yang berporos pada pemajuan kebudayaan dengan semangat memperkaya keberagaman.

Isu pokok pemajuan kebudayaan yang terakhir adalah desain kebijakan budaya belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaannya. Hal ini karena ketiadaan sistem pendataan kebudayaan terpadu yang menghubungkan berbagai pusat data pemerintah dan masyarakat serta dapat diakses publik. Selain itu, akses yang meluas, merata, dan berkeadilan terhadap infrastruktur dan sarana prasarana kebudayaan pun belum terwujud serta belum optimalnya tata kelola sumber daya manusia kebudayaan. (MS/ABG)