Gotong Royong Menuju Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan

Halaman : 22
Edisi 66/Mei 2024

Tahap penyusunan rencana induk pemajuan kebudayaan (RIPK) akan dimulai pada awal 2019 melalui koordinasi bersama lintas kementerian/lembaga. Hal ini bertujuan untuk membagi tugas dan wewenang dalam usaha bersama pemajuan kebudayaan. Gotong royong ini akan menghasilkan dokumen RIPK yang merupakan penerjemahan teknis dari strategi kebudayaan ke dalam tata kerja pemerintah di bidang kebudayaan selama 20 tahun ke depan.

Sebanyak 18 kementerian/lembaga akan terlibat dalam penyusunan dokumen RIPK, namun jumlah ini masih bisa ditambah lagi dengan berbagai lembaga lain, seperti Balai Pustaka, Produksi Film Negara, Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, dan sebagainya. Selain itu, koordinasi juga perlu dilakukan dengan Kementerian Keuangan terkait standar pembiayaan khusus untuk berbagai jenis pekerjaan seni dan budaya seperti kurator, koreografer, sutradara, dan lainnya yang selama ini belum dikenal dalam sistem administrasi keuangan negara. Semua ini perlu juga dikaitkan dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional agar semua hasil koordinasi yang dilakukan ini dapat diselaraskan dengan arah pembangunan nasional.

RIPK disusun atas dasar pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD) kabupaten/kota, PPKD provinsi, dan penggalian masukan dari forum prakongres sektoral di bidang kebudayaan serta strategi kebudayaan. Hal ini perlu diterjemahkan ke dalam pembagian peran di antara seluruh kementerian/lembaga terkait. Pembagian peran pun dapat dijalankan menurut empat unsur pemajuan kebudayaan, yakni pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Baca Juga: Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 Tentukan Arah Pemajuan Kebudayaan

Kementerian/Lembaga yang berurusan dengan bidang pelindungan, misalnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika, dapat merumuskan agenda bersama dan pembagian peran di bidang pelindungan kebudayaan. Kementerian/Lembaga yang mengampu urusan pemanfaatan, misalnya Kementerian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, Produksi Film Negara, Televisi Republik Indonesia, dan Radio Republik Indonesia, dapat menyusun agenda bersama dan pembagian peran di bidang pemanfaatan kebudayaan. Demikian pula untuk sektor-sektor lainnya.

Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudaaan, proses pengelolaan kebudayaan lintas sektor dan lintas kementerian/lembaga di tingkat pusat ini terjadi melalui suatu siklus yang tersusun dua unsur sebelumnya sebelum RIPK. Pertama, dokumen PPKD tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi yang menggambarkan keadaan pemajuan kebudayaan di tiap daerah dan potensi pemajuan kebudayaan yang ada serta rekomendasi ke depan. Dokumen ini disusun oleh pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dengan melibatkan masyarakat. Kedua, dokumen strategi kebudayaan yang merangkum keseluruhan PPKD, visi pemajuan kebudayaan untuk 20 tahun ke depan, serta isu strategis, proses, dan metode untuk merealisasikannya.� Dokumen ini disusun oleh pemerintah pusat dan ditetapkan melalui Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.

Kebudayaan: Orientasi Pembangunan Nasional dan Pengelolaan Lintas Sektoral

Berbagai gugatan terhadap wawasan kebangsaan dan kebinnekaan budaya Indonesia bermunculan dewasa ini. Gugatan itu kerapkali diwujudkan dalam aksi-aksi sektarian yang penuh kekerasan dan menggerogoti kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional. Tantangan terhadap kebudayaan nasional ini hanya dapat dijawab apabila kebudayaan ditempatkan sebagai hulu pembangunan. Kebudayaan mesti mewarnai setiap lini pembangunan sehingga agenda pengarus-utamaan kebudayaan (mainstreaming culture) menjadi penting.

Baca Juga: Pemerintah Daerah, Ujung Tombak Strategi Kebudayaan

Kebudayaan praktis mencakup segenap sistem kehidupan sosial yang berkembang di muka bumi sehingga menjadi jelas bahwa kebudayaan sejatinya tidak dapat diperlakukan sebagai satu sektor di antara sektor-sektor lain dalam perikehidupan manusia. Kebudayaan seyogianya dipandang sebagai bumi tempat tumbuhnya setiap sektor perikehidupan manusia. Inilah yang dimaksud dalam UNESCO Thematic Think Piece (2012) dengan ungkapan "Kebudayaan sebagai pendorong dan pemberdaya bagi pembangunan berkelanjutan (culture as a driver and an enabler of sustainable development)".

Kebudayaan merupakan pendorong (driver) pembangunan dalam arti kebudayaan menyediakan prakondisi bagi terciptanya pembangunan, yaitu dengan memasok mentalitas dan wawasan yang diperlukan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebudayaan juga dipandang sebagai pemberdaya (enabler) bagi pembangunan yang berkelanjutan karena kebudayaan menghadirkan perspektif yang mengutamakan penemuan keselerasan baru antara manusia dan lingkungannya sehingga pembangunan tidak menguras habis kekayaan alam ataupun meminggirkan kaum yang lemah demi akumulasi ekonomi di tangan segelitir orang.

Dengan menempatkan kebudayaan sebagai orientasi, ada sejumlah pengertian terkait pengelolaan kebudayaan yang harus diluruskan agar usaha pemajuan kebudayaan dapat dilaksanakan dengan sepenuh-penuhnya. Pertama, pengelolaan kebudayaan tidak semestinya diartikan secara sektoral, misalnya mengikuti disiplin ilmu yang mengkaji sektor kebudayaan terkait. Sebagai contoh hubungan sosial yang menghasilkan artefak tenun tradisional, hal ini bukan hanya hubungan adat tetapi juga hubungan ekonomi, hubungan kesenian, hubungan keyakinan, dan lainnya. Oleh karena itu, usaha memajukan tenun tradisional seyogianya harus pula memajukan ekonomi warga penghasil tenun, cakrawala artistik mereka, semesta adat-istiadat mereka, dan lainnya.

Baca Juga: Pentingnya Peran Pelaku Budaya dalam Pemajuan Kebudayaan

Kedua, pengelolaan kebudayaan seharusnya tidak ditangani secara terpisah-pisah seturut nomenklatur kelembagaan dari pengelolaan perdagangan, pariwisata, perindustrian, kepemudaan, dan sektor lainnya. Dalam memajukan jamu sebagai bagian dari ritus, pengetahuan, dan teknologi tradisional, maka pendekatan yang dipakai tidak bisa parsial tetapi mesti memperhitungkan ketersambungannya dengan dunia industri, kelestarian masyarakat tradisi yang menghasilkan ritus, serta pengetahuan dan teknologi seputar jamu. Industri yang beroperasi dalam pemanfaatan jamu harus dipastikan tetap melestarikan ekosistem pengolahan jamu, yaitu masyarakat tradisi. Maka dari itu, usaha pemajuan kebudayaan tidak bisa diwujudkan tanpa melalui sinergi lintas Kementerian/Lembaga.

Ketiga, pengelolaan kebudayaan tidak akan berjalan apabila pemerintah ditempatkan sebagai pelaksana kebijakan dan masyarakat sebagai objek pelaksanaan kebijakan. Alasannya jelas, bukan pemerintah yang menciptakan kebudayaan, tetapi masyarakat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk memajukan kebudayaannya sendiri. Usaha pemajuan kebudayaan tidak bisa diwujudkan tanpa partisipasi masyarakat, di antaranya melalui peningkatan kompetensi tenaga kebudayaan serta mewujudkan akses yang meluas, merata, dan berkeadilan dalam segala urusan kebudayaan. (MS/ABG)