Yance Rumbino memulai pengabdiannya sebagai guru di daerah Pedalaman Papua. Menerapkan teori pembelajaran yang diperolehnya di bangku sekolah, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Yance harus berhadapan dengan siswa-siswi yang berusia lebih tua dari dirinya dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Suatu malam dia merenung dan menemukan ide apa yang harus dia lakukan. MENYANYI. Pendekatan seni bisa membuat siswanya tertarik untuk belajar.
Yance Rumbino biasa disapa Yero, lahir di Sorong, 22 Juni 1953, dari pasangan Robert Rumbino dan Aleksanderina Morin. Putra asli Biak ini mengawali pendidikannya pada Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Betlehem Biak. Sekolah tersebut menekankan pendidikan seni. Seluruh mata pelajaran diakhiri dengan menyanyi. Tak heran jika YPK identik dengan sekolah menyanyi.
Di bangku kelas tiga SD, Yero sudah mengenal notasi not balok. Yero merasa seni itu penting, karena mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia untuk melakukan sesuatu yang indah. Tidak hanya untuk orang lain, tetapi untuk Sang Pencipta, dan akhirnya menjadi kebahagiaan diri sendiri.
Lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) YPK Biak tahun 1975, Yero yang saat itu berusia 22 tahun, ditempatkan di SDN Inpres Sinak Puncak (dulu Paniai). Letak geografis Kabupaten Puncak ini berada di kawasan pegunungan tengah Provinsi Papua pada ketinggian antara 500 s.d. 4.500 meter di atas permukaan laut. Sebuah tantangan tersendiri bagi Yero. Tidak hanya itu, selama tiga tahun mengabdi di Sinak, ia harus bertahan tanpa mengenal nasi, kendaraan, dan juga uang.
Di sekolah itu pula, Yero harus berhadapan dengan situasi mengajar yang tidak mudah. Hampir seluruh siswanya tidak dapat berbahasa Indonesia. Kemampuan seni yang diperolehnya sejak SD kemudian ia gunakan untuk mengajak siswa tertarik belajar. Lewat menyanyi, tantangan mengajar siswa di sekolah tersebut akhirnya dapat dilalui.
Baca Juga: Saka Jamaluddin Inisiator Menulis Karya Ilmiah Bagi Siswa di Daerah Terpencil
Pada 1978, Yero dipindahtugaskan menjadi Kepala SDN Inpres Siriwini di Kabupaten Nabire. Pengalamannya saat bertugas di daerah Paniai (Puncak Jaya), berjalan kaki sejauh 21 km, melewati gunung yang tinggi, lembah yang membisu, sungai mengalir tenang, juga kondisi wilayah adat Meepago, menginspirasinya untuk menciptakan lagu. Pada November 1985 di Bukit Gamei, Distrik Topo, Kabupaten Nabire, terciptalah lagu yang diberi judul “Irian Jayaku”. Seiring dengan perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, maka lagu pun berubah menjadi “Tanah Papua”.
Lagu tersebut mengajak setiap insan di atas negeri ini untuk menghargai dan mensyukuri karya Tuhan di tanah Papua dengan bangkit dan bekerja keras sehingga dapat menikmatinya, dan tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Sekarang lagu ini menjadi lagu wajib dinyanyikan pada saat acara formal maupun nonformal di Tanah Papua, serta dituliskan dalam tiga bahasa yaitu Indonesia, Biak (Supo Papua), dan Inggris (The Land of Papua).
Beberapa penghargaan yang diterima Yero antara lain penghargaan dari Bupati Nabire (2005), Gubernur Papua (2015), dan Dewan Kesenian Tanah Papua (2016). Namun Yero belum pernah menerima royalti walaupun beberapa penyanyi membuat rekaman lagu tersebut.
Saat ini Yero sudah memasuki masa pensiun dengan jabatan terakhirnya sebagai Kepala Bidang Promosi/Penyuluhan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010. Tetapi pengabdiannya pada dunia pendidikan, seni, dan budaya Papua tidak pernah berakhir, dia tetap menjadi pelopor kesenian dan budaya Papua, masih aktif sebagai guru honor, dan terus berkarya menciptakan lagu. Hingga saat ini sudah ada 100 lagu yang diciptakan dan tujuh album. (RAN)
Ditulis oleh Fatkurohmah, LPMP Papua, dari sumber yang dituturkan langsung oleh narasumber di Nabire, Maret 2019