Lima Peran Guru Tumbuhkan Sikap Kebinekaan Siswa

Halaman : 9
Edisi 67/Juni 2024

Salah satu kunci kesuksesan pendidikan karakter terletak pada peran guru. Tidak hanya peran guru dalam dimensi intelektualitas saja, namun juga kepribadian setiap anak didiknya. Setidaknya ada lima peran guru dalam implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) bagi siswa, yakni sebagai fasilitator, katalisator, pengajar, penjaga gawang, dan penghubung.

Presiden Joko Widodo mengatakan, peran guru sangat penting dalam pendidikan. Guru harus menjadi sosok yang mencerahkan dan membuka alam pikir serta jiwa murid-muridnya, juga mampu memupuk nilai-nilai kasih sayang, keteladanan, perilaku positif, moralitas, dan kebinekaan. “Inilah sejatinya pendidikan karakter yang menjadi inti dari pendidikan yang sesungguhnya,” ujar Presiden Jokowi.

Tak hanya sebagai pengajar saja, seorang guru harus mampu berperan sebagai fasilitator yang membantu anak didik mencapai target pembelajarannya. Guru juga harus mampu bertindak sebagai penjaga gawang yang membantu anak didiknya dalam menyaring berbagai pengaruh negatif. Seorang guru pun harus mampu berperan sebagai penghubung anak didik dengan berbagai sumber-sumber belajar yang tidak hanya ada di dalam ruang kelas atau sekolah saja. Begitu juga guru sebagai katalisator harus mampu menggali dan mengoptimalkan potensi setiap anak didiknya.

Baca Juga: Orangtua Hebat Mampu Tumbuhkan Budi Pekerti dan Budaya Prestasi Anak

Dalam upaya PPK dan menumbuhkan sikap kebinekaan pada peserta didik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Melalui kebijakan ini diharapkan sekolah bisa menjadi taman belajar yang menyenangkan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan, serta menjadi tempat yang dapat menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk dari pendidikan karakter. Misalnya, kewajiban membaca buku nonpelajaran sekitar 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan atau satu lagu wajib nasional sebelum memulai pembelajaran, dan lainnya.

Dilandasi kebijakan itu, guru juga dapat mengadakan kegiatan periodik seperti pertemuan dengan wali kelas atau sesama orangtua siswa untuk menjelaskan visi, misi, dan aturan sekolah, serta perkembangan belajar siswa. Para siswa juga bisa diajak terlibat dengan masyarakat untuk melihat dan memecahkan masalah-masalah nyata di lingkungan sekitar sekolah terutama perihal kemajemukan masyarakat dan penumbuhan sikap kebinekaan.

Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tuladho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”, maka seorang guru idealnya memiliki kedekatan dengan anak didiknya sehingga dapat mengetahui perkembangan mereka.

Selain itu, ada juga Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang bertujuan untuk mencegah dan melindungi anak dari tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan. Tindak kekerasan yang dimaksud adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.

Baca Juga: Pentingnya Kenalkan Kemajemukan pada Anak Sejak Usia Dini

Tidak hanya kebijakan Kemendikbud saja, pemerintah melalui Kementerian Agama juga mengeluarkan panduan bagi guru di lingkungan madrasah melalui Surat Edaran Dirjen Pendidikan Madrasah Nomor: Dj.I/Dt.1.1/I/ HM.00/84/2016, tertanggal 16 Januari 2016, dimana ada delapan poin yang dipandang perlu disampaikan oleh setiap guru madrasah kepada para peserta didiknya. Salah satu poin tersebut yakni guru diimbau untuk memulai pembelajaran di kelas dengan mengapresiasi kompetensi inti pada Kurikulum 2013 yang memuat hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan yang memuat hablun minannas (hubungan kemanusiaan) di depan peserta didik.

Pada poin lain dalam kebijakan itu, guru diharapkan dapat menjelaskan kepada peserta didik bahwa Islam adalah agama damai, agama yang santun, agama yang mengedepankan nilai-nilai rahmat bagi alam semesta, dan agama yang menghargai kemanusiaan. Islam sama sekali bukan agama yang mengajarkan terorisme dan radikalisme. Dalam hubungan dengan anggota masyarakat, guru harus dapat menyampaikan kepada peserta didik bahwa persaudaraan bukan hanya sesama Islam (ukhuwah islamiyah) melainkan juga ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesame anak bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Pada intinya, guru harus dapat mengajak siswanya berpikir positif serta menjadikan mereka sebagai generasi Indonesia yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan, saling menjaga, cinta tanah air serta gotong royong yang menjadi piranti perekat bersama. Sebagai katalisator, guru harus mampu menguatkan komitmen mereka menjadi manusia sukses yang kelak membangun bangsa, agama, dan negaranya. Buatlah mereka yakin bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka. (DES)

Baca Juga: Trik Orangtua Menumbuhkan Karakter Menghargai Perbedaan SARA pada Anak