Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan perbaikan terhadap Kurikulum 2013. Setiap perbaikan dan pengembangan yang dilakukan pemerintah terhadap kurikulum dari waktu ke waktu bertujuan untuk menghasilkan generasi yang memiliki tiga kompetensi, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
PERMASALAHAN
HASIL PERBAIKAN
Baca Juga: Perbandingan Sebelum dan Sesudah Penataan Kompetensi Sikap
Perbaikan Kurikulum 2013 Penataan Kompetensi Sikap Spiritual dan Sikap Sosial
Hanya Guru Dua Mata Pelajaran yang Menilai Sikap Spiritual dan Sikap Sosial Siswa secara Langsung
Sebelum adanya perbaikan kurikulum, guru setiap mata pelajaran diberi beban formal untuk melakukan pembelajaran dan penilaian terhadap kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial siswa. Kini, kompetensi sikap sosial dan spiritual tidak lagi diberikan secara intrakurikuler pada semua mata pelajaran.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, hanya dua guru yang bisa memberikan penilaian sikap siswa secara langsung, yaitu guru Pendidikan Agama-Budi Pekerti dan guru PPKn. Sedangkan guru lain di luar kedua mata pelajaran ini, dapat mengajarkan dan memberi nilai secara tidak langsung.
Bagaimana guru melakukan pembelajaran dan penilaian tidak langsung?
Guru matematika atau guru fisika, misalnya, dulunya diwajibkan untuk mengajarkan dan menilai kemampuan siswa dalam kegiatan berdoa. Hasil pembelajaran berdoa ini kemudian dimasukkan dalam penilaian rapor. Kini, dengan penataan ulang terhadap pembelajaran dan penilaian sikap sosial sikap dan spiritual, guru matematika tetap dapat mengajarkan siswanya berdoa, tapi tidak lagi memasukkan penilaian tersebut di dalam laporan hasil belajar siswa. "Belajar berdoa itu tidak salah. Tapi, kegiatan berdoa pada mata pelajaran matematika ini tidak lagi jadi kewajiban guru di dalam penilaian," ujar Totok.
Meskipun tak lagi dinilai langsung, guru setiap mata pelajaran tetap memiliki kewajiban moral untuk mendidik siswa dalam bersikap, baik social maupun spiritual. Peran guru untuk menjadi panutan ini disebut sebagai kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum).
Ketentuan pembelajaran sikap spiritual dan sikap sosial setelah perbaikan kurikulum.
Kurikulum tersembunyi, kata Totok, menuntut guru untuk memiliki sikap sosial dan spiritual yang baik. Ditinjau dari sisi filosofi, guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Sikap dan perilaku guru menjadi salah satu bentuk dari pembelajaran tidak langsung. Siswa dididik untuk bersih, rapi, sopan, santun, dengan melihat contoh dari guru. Apalagi di jenjang PAUD, yang dalam proses pembelajarannya kebanyakan tidak menggunakan buku teks. Perilaku dan watak guru adalah pembelajaran. Untuk itu dokumen kurikulum di jenjang PAUD tidak dipentingkan, justru empat kompetensi guru: profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial, yang harus ditingkatkan.
Contoh lain, jika ada guru yang menemukan siswa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kejujuran dan karakter baik seperti nyontek, berkelahi, dan lain sebagainya, guru wajib menegur. Meskipun tidak dapat memberi penilaian langsung terhadap perilaku siswa yang melanggar, guru dapat melaporkan perbuatan siswa tersebut kepada guru yang berwenang untuk memberi penilaian, yaitu guru Pendidikan Agama-Budi Pekerti dan guru PPKn.
Besarnya peran guru dalam keberhasilan pendidikan juga dapat dilihat dari kejadian sehari-hari. Ketika guru menasehati siswa untuk berperilaku baik, tapi di sisi lain guru tidak memberi contoh yang baik, sudah hampir pasti siswa akan mengikuti perilaku daripada kata-kata sang guru. Demikian pula dengan budaya bersih, mulai dari pribadi yang bersih, kebersihan ruangan, pakaian, toilet, dan lingkungan juga termasuk pembelajaran tidak langsung.
Baca Juga: Perbaikan Kurikulum 2013 Koherensi KI-KD dan Penyelarasan Dokumen
Untuk itu, kata Totok, dengan tidak dimasukkannya pembelajaran sikap dalam muatan wajib, bukan berarti tuntutan untuk guru menjadi profesional dan berkepribadian ditiadakan, justru semakin besar tuntutannya. Karena guru adalah kurikulum.
Pembelajaran tidak langsung juga dapat dilakukan dengan membangun persepsi positif siswa. Totok mengatakan, siswa kerap dikenalkan dengan stigma atau stereotype yang ditemui di sekolah maupun lingkungan, dan melekat di otaknya hingga dewasa. Misalnya, gambar dalam buku teks pelajaran. Dalam rumah tangga, ibu digambarkan dengan setumpuk aktivitas seperti mencuci, memasak, menyapu, dan lain sebagainya, sedangkan sosok ayah digambarkan dengan aktivitas santai seperti minum kopi dan membaca koran. Gambar-gambar tersebut akhirnya membentuk persepsi bahwa perempuan derajatnya lebih rendah daripada pria.
Akan lain ceritanya jika kehidupan sebuah rumah tangga digambarkan ayah ikut membantu menjemur pakaian yang dijemur oleh ibu. Gambar semacam ini akan membentuk persepsi positif bagi anak. Bahwa ayah yang membantu ibu mencuci pakaian tidak merendahkan martabatnya.
Demikian pula di sekolah. Sering ditemui gambar yang memperlihatkan kegiatan menyapu kelas adalah pekerjaan siswa perempuan. Sedangkan siswa laki-laki bermain bola. "Itu stereotyping. Hidden Curriculum. Kita seringkali tidak sadar, yang tidak dikatakan tidak dituliskan membentuk persepsi anak. Itu juga yang kita tata," ujar Totok. (*)