Semangat Baru Layani Akses Pendidikan Melalui Penerimaan Peserta Didik Baru

Halaman : 6
Edisi 65/Juni 2023

Ketika akan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, peserta didik akan sibuk memilih sekolah terbaik untuk menuntut ilmu. Tidak hanya calon siswa baru saja, orang tua pun turut terlibat dalam prosesnya demi mendapatkan sekolah yang paling tepat untuk si buah hati. Banyak pertimbangan bagi orang tua dan siswa dalam mengambil keputusuan saat mendaftar sekolah, seperti lokasi, sarana prasarana, daya tampung, biaya, dan lainnya.

 

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018, tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kebijakan ini merupakan semangat baru dalam mendorong peningkatan akses layanan pendidikan yang lebih baik bagi para pemangku kepentingan, terutama bagi kepala daerah untuk membuat kebijakan teknis pelaksanaan PPDB dan bagi kepala sekolah dalam pelaksanaannya.

Kebijakan PPDB kali ini mengedepankan prinsip nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Namun, prinsip nondiskriminatif dikecualikan bagi sekolah yang secara khusus melayani peserta didik dari gender atau agama tertentu. Orang tua dan siswa berhak memperoleh informasi teknis pelaksanaan PPDB dari sekolah yang dituju maupun dinas pendidikan setempat.

Kebijakan PPDB dengan prinsip objektif, transparan, serta akuntabel ini juga turut menekan praktik jual beli kursi serta titipan peserta didik yang tidak sesuai aturan. Kemendikbud mengajak seluruh pihak agar terlibat dalam pengawasan pelaksanaannya. Apabila ditemukan unsur pidana seperti pemalsuan dokumen, pungutan liar, jual beli kursi, dan lainnya maka masyarakat dapat mengawasi dan melaporkan pelanggaran tersebut melalui laman ult.kemdikbud.go.id.

Baca Juga: Persyaratan SKTM Ditiadakan, Siswa Tidak Mampu Tetap Bisa Daftar Sekolah

Pada pelaksanaan PPDB 2018, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 ternyata belum diterapkan secara optimal oleh satuan pendidikan, masih banyak jalur PPDB yang tidak sesuai ketentuan. Sekitar 80 persen sekolah di Indonesia menetapkan kuota zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas/pekerjaan orang tua tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Selain itu, hampir 90 persen sekolah tidak menggunakan seleksi jarak atau zonasi, kebanyakan sekolah masih mengutamakan mekanisme seleksi berbasis nilai.

Hal itu tentu tidak sesuai dengan tujuan Kemendikbud agar tidak terjadi eksklusivitas anak dengan nilai tinggi dan berkumpul di sekolah-sekolah yang dinilai favorit. “Sekolah favorit” ini tentu berdampak pada banyak hal, misalnya ketidakadilan bagi siswa yang memiliki nilai rendah, intervensi pemerintah pusat maupun daerah terfokus pada sekolah favorit, bahkan mampu membuka peluang suburnya jual beli kursi serta pungutan liar lainnya.

Baca Juga: Pemerintah Daerah Tetapkan Zona Penerimaan Peserta Didik Baru

Masalah lainnya terkait rombongan belajar (rombel) atau kelompok peserta didik yang terdaftar pada satuan kelas dalam satu satuan pendidikan. Pengumuman daya tampung peserta didik baru tidak sesuai rombel yang ada, bahkan tidak diumumkan dalam laman PPDB, sedangkan di sisi lain masih banyak sekolah yang daya tampungnya melebihi ketentuan rombel. Ketentuan jumlah peserta didik dalam satu kelas adalah paling sedikit 20 siswa dan paling banyak 28 siswa untuk jenjang SD, 20 sampai 32 siswa untuk jenjang SMP, 20 sampai 36 siswa untuk jenjang SMA, dan 15 hingga 36 siswa untuk SMK.

Kejadian yang tidak kalah menarik perhatian berbagai pihak pada PPDB sebelumnya adalah tindakan pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dibuat agar peserta didik dapat memilih sekolah sesuai yang diinginkan melalui jalur siswa tidak mampu. Hal tersebut dikarenakan para pemegang SKTM serta penyandang disabilitas dapat memilih sekolah yang dikehendakinya. Pemalsuan ini mengindikasikan bahwa stigma orang tua menyekolahkan anaknya di “sekolah favorit” seolah merupakan keharusan demi keberhasilannya dalam menuntut ilmu, sehingga menghalalkan berbagai cara tanpa memperhatikan aturan yang berlaku. (AKS)