Tanggung Jawab Kepala Daerah dalam Atasi Stunting

Halaman : 22
Edisi 66/Mei 2024

Sebanyak 100 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menjadi prioritas untuk intervensi pengurangan anak kerdil (stunting) hingga tahun 2018. Pemilihan kabupaten/kota tersebut didasarkan atas kriteria jumlah dan prevalensi balita stunting yang dibobot dengan tingkat kemiskinan provinsi (desa-kota). Dalam hal ini, kepala daerah memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah dan mengatasi masalah ini guna menghasilkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, kreatif, dan produktif di masa mendatang.

Wakil Presiden Republik Indonesia, M. Jusuf Kalla menegaskan, penanganan stunting ini perlu koordinasi antar sector dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan dunia industri serta masyarakat dan lainnya. “Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya beberapa bulan lalu.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru tampak setelah bayi berusia 2 tahun. Saat ini sekitar 9 juta anak Indonesia mengalami stunting dan Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar di dunia.

Terdapat empat faktor multidimensi penyebab stunting. Pertama, praktek pengasuhan anak yang kurang baik termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan. Kedua, masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu setelah melahirkan), dan pembelajaran dini yang berkualitas.

Faktor multidimensi lainnya adalah masih kurangnya akses rumah tangga atau keluarga terhadap makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih relatif mahal. Faktor selajutnya adalah masih kurangnya akses air bersih dan sanitasi.Satu dari lima rumah tangga atau keluarga di Indonesia masih buang air besar di ruang terbuka dan satu dari tiga rumah tangga atau keluarga belum memiliki akses terhadap air minum bersih.

Baca Juga: Pesan untuk Orangtua Perhatikan Gizi Anak Agar Tidak Stunting

 

Melihat kondisi tersebut pemerintah perlu melakukan intervensi stunting yang terbagi menjadi dua kerangka meliputi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Kerangka intervensi gizi sensitif idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70 persen intervensi stunting.

Beberapa kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui intervensi gizi sensitif diantaranya menyediakan dan memastikan akses terhadap air besih dan sanitasi, melakukan fortifikasi bahan pangan, menyediakan akses layanan kesehatan dan Keluarga Berencana, menyediakan jaminan kesehatan nasional dan jaminan persalinan universal serta bantuan dan jaminan social bagi keluarga miskin, memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua dan pendidikan gizi masyarakat serta pendidikan anak usia dini yang universal, dan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kerangka gizi spesifik ditujukan pada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada penurunan stunting. Intervensi jangka pendek ini dapat dibagi dalam tiga intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan. Sasaran pertama adalah ibu hamil dengan memberikan makanan tambahan untuk mengatasi keurangan energi, protein, zat besi, asam folat, yodium, dan menanggulangi cacingan serta melindungi dari malaria.

Kedua, intervensi menyasar ibu menyusui dan anak usia 0 – 6 bulan dimana mendorong seorang ibu untuk berinisiasi menyusui dini terutama melalui pemberian air susu ibu (ASI) jolong atau kolostrum serta mendorong pemberian ASI eksklusif.

Terakhir menyasar ibu menyususi dan anak usia 7-23 bulan melalui kegiatan penerusan pemberian ASI hingga anak berusia 23 bulan dengan didampingi oleh pemberian makanan pendamping ASI menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Baca Juga: Peningkatan Kualitas Gizi Anak Sejak Dini

 

Pemerintah daerah perlu memperbaiki kualitas dari layanan-layanan kesehatan yang sudah ada seperti puskesmas, posyandu, pendidikan anak usia dini, pemberian makanan tambahan, dan layanan lainnya terutama dalam memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita pada 1.000 HPK.

Selain itu juga dapat memberikan insentif dari kinerja program intervensi stunting di wilayah sasaran yang berhasil menurunkan angka stunting di wilayahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan dana alokasi khusus dan dana desa, serta sinergi antar bidang terkait. (*)

 

BREAKER : Kontribusi pemerintah daerah yang dapat dilakukan untuk menurunkan potensi stunting, di antaranya:

  1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih dan sanitasi
  2. Melakukan fortifikasi bahan pangan, menyediakan akses layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
  3. Menyediakan jaminan kesehatan nasional dan jaminan persalinan universal serta bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin
  4. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua dan pendidikan gizi masyarakat serta pendidikan anak usia dini yang universal
  5. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi