Sistem zonasi dimulai sejak 2017. Kelahiran zonasi dilatarbelakangi beberapa permasalahan di dunia pendidikan, antara lain ketimpangan pendidikan antardaerah, belum meratanya persebaran sekolah, dan terciptanya kastanisasi dengan adanya pelabelan sekolah favorit dan nonfavorit. Zonasi pendidikan bertujuan untuk mencapai pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, baik pemerataan dari sisi kedekatan domisili siswa dengan sekolah, kemudahan akses pendidikan, maupun pemerataan guru berkualitas di semua sekolah.
Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat terbiasa dengan pengelompokan sekolah favorit-nonfavorit dan sekolah unggulan-nonunggulan. Langgengnya sekolah favorit dan sekolah unggulan tidak lepas dari bagusnya input calon siswa yang mayoritas memiliki prestasi bagus. Sementara itu, di sekolah lain yang berpredikat nonunggulan, sebagian besar siswanya merupakan lulusan dari sekolah nonunggulan dengan nilai UN yang rendah pula.
Pemerintah, melalui sistem zonasi pendidikan, berupaya menghapus pengastaan dan diskriminasi sekolah yang menjadikan penumpukan sumber daya manusia berkualitas di satu sekolah atau satu wilayah. Sistem zonasi menjadikan input siswa dalam satu sekolah lebih heterogen, baik prestasi akademis dan nonakademis, karakter, maupun sosial ekonomi keluarga siswa. Guru dan kepala sekolah dituntut lebih kreatif dan inovatif menangani siswa yang heterogen.
Zonasi pendidikan memiliki prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Siswa memiliki kesempatan lebih banyak mendapatkan pengalaman belajar di lingkungan keluarga dan masyarakat karena dekatnya lokasi rumah dan sekolah. Sekolah berperan besar mengelola dan mengintegrasikan pengalaman belajar anak di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Baca Juga: Penguatan Pendidikan Karakter Fondasi dan Roh Utama Pendidikan
Dekatnya domisili peserta didik dengan sekolah memiliki sejumlah manfaat, di antaranya, efisiensi biaya transportasi dan efisiensi waktu perjalanan rumah-sekolah sehingga anak memiliki waktu lebih banyak untuk bermain dan belajar di lingkungan rumahnya. Hal itu juga akan mendorong meningkatnya partisipasi, peran, dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan.
Keterlibatan dan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam proses pembelajaran, khususnya dalam pembentukan karakter peserta didik, akan makin menguat. Orang tua, pihak sekolah, dan masyarakat akan makin mudah untuk berinteraksi dan bekerja sama untuk mengembangkan potensi, bakat, dan minat peserta didik.
Manfaat Zonasi
Dalam permasalahan anak putus sekolah, pemerintah daerah dapat mendeteksi lebih dini anak putus sekolah ini melalui terintegrasinya data Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan kerja sama Kemendikbud dengan Kementerian Dalam Negeri. Dalam data nasional tercatat sebanyak 223.882 anak putus sekolah (Neraca Pendidikan Daerah, 2018). Tantangan bagi pemerintah daerah adalah membuat sistem zonasi pendidikan dapat menurunkan angka anak putus sekolah secara signifikan.
Kebijakan zonasi pendidikan juga memantik peran kebudayaan yang mengakar dan berkembang di lingkungan masyarakat. Berbagai aktivitas kebudayaan dapat tetap hidup dan berperan besar memberikan pengalaman dan pembelajaran bermakna bagi pembentukan karakter anak. Aktivitas kebudayaan diharapkan dapat menumbuhkan cinta dalam diri siswa pada daerah tempat tinggalnya. Siswa tidak melupakan identitas dan jati dirinya sebagai individu yang tumbuh besar di wilayah itu.
Baca Juga: Komitmen Melaksanakan Amanat UU Pemajuan Kebudayaan
Selain itu, zonasi pendidikan juga mendorong sekolah-sekolah untuk saling berbagi sumber daya pendidikan, seperti fasilitas laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga, serta sarana dan prasarana lain yang dapat dipergunakan bersama antarsekolah dalam satu zonasi. Sebagian besar sarana dan prasarana sekolah adalah barang milik negara yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) sehingga pemanfaatannya tidak hanya oleh satu sekolah saja. Sekolah harus membuka diri dan mendorong pemanfaatan fasilitas secara bersama-sama yang tentunya disertai pengelolaan yang baik dan transparan.
Zonasi juga memungkinkan berbagi sumber daya guru. Selama ini banyak guru menumpuk di sekolah favorit sehingga sekolah nonfavorit kekurangan guru berkualitas. Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan akan mengeluarkan kebijakan pertukaran guru sesuai dengan kebutuhan. Guru di sekolah favorit dapat ditugasi mengajar di sekolah nonfavorit. Begitu juga sebaliknya, guru-guru di sekolah nonunggulan dapat mengajar di sekolah unggulan. Kualitas proses pembelajaran akan ditingkatkan melalui pelatihan guru dalam zonasi yang berfokus pada masalah dan kebutuhan tiap-tiap zonasi.
Pada tahun 2019 Kemendikbud, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), telah mengembangkan laman zonasi pendidikan di semua daerah se-Indonesia yang terintegrasi dalam sistem yang dapat diakses bersama, yakni zonasi.kemdikbud.go.id. Pemangku kepentingan pendidikan, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat melihat peta zona tiap-tiap daerah, kondisi siswa yang akan lulus, ketersediaan daya tampung, jumlah satuan pendidikan dalam satu zona, kebutuhan guru, sarana dan prasarana, prioritas pembinaan, dan intervensi program dan pendanaan.
Baca Juga: Digitalisasi Sekolah, Metode Pembelajaran di Era Revolusi Industri 4.0
Balitbang merumuskan integrasi data dan informasi pendidikan dan kebudayaan ke dalam sistem zona aktivitas pendidikan-kebudayaan-kebahasaan, yaitu melalui zonasi mutu pendidikan dan kebudayaan. Kebijakan zonasi pendidikan dan kebudayaan dikembangkan dengan tiga strategi, yakni strategi percepatan pembangunan pendidikan yang merata, berkualitas, dan berkeadilan (integrasi pembangunan); strategi pembangunan pendidikan yang terintegrasi secara vertikal dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten-kota-provinsi, sampai dengan pusat sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya; serta strategi pembangunan pendidikan yang berkesinambungan dari tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah.
Untuk mencapai pendidikan yang merata, berkualitas, dan berkeadilan, Balitbang menyusun dan mengembangkan tiga tahapan analisis yang saling terkait dengan penyusunan zona dan pengelolaan pendidikan berbasis zona. Tahapan tersebut adalah tahap klasifikasi, tahap peningkatan kapasitas, serta tahap pemantauan.
Aplikasi atau laman zonasi pendidikan dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dan rujukan pemerintah untuk melakukan rotasi dan distribusi kebutuhan guru di sekolah. Pemenuhan ruang kelas juga dapat dihitung dan dipetakan berdasarkan aplikasi zonasi pendidikan. Hal itu akan mempermudah pembuatan kebijakan dan pemberian bantuan anggaran sesuai dengan prioritas.
Penetapan Zona Pendidikan
Pada awalnya ditetapkan 1.927 zona dari 2.916 satuan pendidikan. Setelah adanya koordinasi dengan kabupaten/kota dan provinsi, ditetapkan 2.578 zona pendidikan. Tahap penentuan zonasi diawali dengan penentuan jumlah zona SMA dan SMA terpilih. Dalam penentuan wilayah zonasi diperhatikan pula jarak SMA lain. Zonasi SMA kemudian dikoreksi dengan sebaran SMP di kabupaten/kota. Zonasi SMA juga dikoreksi dengan sebaran SD di kabupaten/kota. Pada tahap akhir, hasil zonasi SMA dikoreksi dengan sebaran SMP dan SD di kabupaten/kota. (DES)