Pendidikan dan Pembangunan Bangsa Bebas dari Stunting

Halaman : 9
Edisi 66/Mei 2024

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis, sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktivitas dan menghambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Pemerintah telah menegaskan untuk menangani masalah stunting  melalui koordinasi lintas kementerian/lembaga.

Kekurangan gizi pada kasus stunting terjadi sejak bayi di dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, atau dalam 1.000 hari pertama dalam kehidupan. Tetapi stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun. Stunting dapat berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, dan penurunan produktivitas.

Pada anak dengan pertumbuhan normal, sel otaknya berkembang baik dengan cabang yang panjang. Pada anak stunting, sel otaknya berkembang terbatas, bercabang tidak normal, dan memiliki cabang yang lebih pendek daripada anak normal. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak.

Pada tahun 2012, OECD PISA mengeluarkan hasil risetnya tentang tingkat kecerdasan anak Indonesia. Asesmen yang dilakukan OECD PISA itu memperlihatkan bahwa tingkat kecerdasan anak Indonesia berada di urutan 64 terendah dari 65 negara. Posisi itu bahkan menjadikan Indonesia berada di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (urutan ke-52), Thailand (urutan ke-50), dan Vietnam (urutan ke-17). OECD PISA (Organization for Economic Cooperation and Development – Programme for International Student Assessment) adalah sebuah organisasi global bergengsi yang mengamati kompetensi pelajar usia 15 tahun dari 65 negara, termasuk Indonesia, dalam bidang membaca, matematika, dan sains.

Pengalaman dan bukti internasional yang diolah dari laporan World Bank Investing in Early Years Brief tahun 2016 menunjukkan bahwa masalah anak kerdil (stunting) juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja, dengan potensi kehilangan 11 persen GDP (Gross Domestic Product), serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen. Masalah stunting juga memperburuk kesenjangan karena mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup, sehingga menciptakan kemiskinan antargenerasi.

Baca Juga: Gizi dan Nutrisi Anak Usia Dini Pemerintah Bantu Pemberian Makanan Sehat untuk Daerah 3T

 

Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013, sekitar 37 persen atau kurang lebih sembilan juta anak balita di Indonesia mengalami masalah stunting. Anakanak dengan masalah stunting ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan lintas kelompok pendapatan.

Saat ini Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi dibandingkan dengan Negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Indonesia sendiri berada pada kelompok negara-negara dengan kondisi stunting terburuk dengan kasus stunting pada balita dan anemia pada perempuan dewasa (WRA/Women of Reproductive Age), bersama 47 negara lainnya, antara lain Angola, Ghana, Haiti, Malawi, Nepal, dan Timor Leste. Situasi ini jika tidak segera ditangani akan memengaruhi kinerja pembangunan Indonesia, baik yang menyangkut pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan.

Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi, yaitu praktik pengasuhan yang tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan dan pembelajaran dini yang berkualitas, kurangnya akses ke makanan bergizi, serta kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Penanganan anak kerdil (stunting) memerlukan koordinasi antarsektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum. Presiden dan Wakil Presiden pun berkomitmen untuk memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Baca Juga: Program Gizi Anak Sekolah untuk Generasi Sehat, Cerdas, Produktif, dan Kompetitif

 

Secara umum, ada dua jenis intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah stunting, yaitu Intervensi Gizi Spesifik (berkontribusi 30 persen) dan Intervensi Gizi Sensitif (berkontribusi 70 persen). Intervensi Gizi Spesifik adalah intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan.

Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif  pendek. Intervensi Gizi Sensitif adalah intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, dan tidak khusus untuk 1.000 hari pertama kehidupan.

Intervensi Gizi Spesifik menyasar pada tiga target sasaran, yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, dan ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan. Beberapa hal yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan antara lain memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasai kekurangan energi dan protein kronis, mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif, serta mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Intervensi Gizi Sensitif antara lain dilakukan dengan menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi, memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, memberikan pendidikan gizi masyarakat, memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja, dan menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

Di tingkat regional ASEAN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjalankan program nutrisi dan kesehatan bagi anak dan sekolah Indonesia melalui SEAMEO REFCON. Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Food and Nutrition (SEAMEO REFCON) adalah pusat pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan dan gizi di tingkat Asia Tenggara atau ASEAN, yang berlokasi di Jakarta.

Baca Juga: Pendidikan Gizi Bagi Remaja untuk Calon Ibu Sehat

 

Selama tiga tahun terakhir, SEAMEO REFCON mengamati fenomena masalah gizi pada anak-anak.  Hasilhasil penelitian terkait dengan gizi anak sekolah, gizi ibu dan anak, serta transisi gizi dipresentasikan pada ajang diseminasi hasil riset yang berskala regional pada tanggal 9 Agustus 2017.  Sebanyak 75 studi yang masuk dalam lima kelompok studi telah dilakukan selama periode tahun 2014-2016. Lima kelompok studi tersebut adalah Keamanan Pangan, Nutrigenomics dan Nutrigenetics, Gizi dan Penyakit, Kebijakan dan Program Gizi, serta Praktik Baik dalam Pengukuran Status Gizi.

Selain para peneliti dari SEAMEO RECFON, beberapa pakar pendidikan gizi di Asia Tenggara hadir untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman seperti Dr. Rani Samugram (Singapore Health Promotion Board), Prof. Corazon Barba (UPLB-Filipina), dan Dr. Siti Rohaiza (Universiti Brunei Darussalam).  Seminar ini dihadiri oleh akademisi, peneliti, kalangan pemerintah dari berbagai kementerian terkait, LSM, sektor swasta, alumni, dan media, serta para pakar dari Australia, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, and Singapura.

Di tingkat sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud memiliki Program Gizi Anak Sekolah (progas). Progas merupakan salah satu bentuk intervensi Kemendikbud untuk menjawab permasalahan banyaknya anak-anak sekolah yang tidak mendapatkan asupan sarapan yang memadai. Kurangnya asupan sarapan anak berdampak pada status gizi buruk, sehingga konsentrasi belajar menurun, dan ketahanan fisik menurun, dan menyebabkan kualitas belajar juga anak menurun.

Pada tahun 2016 telah dilaksanakan progas di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Belu, Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan hasil evaluasi pada progas 2016, terjadi peningkatan kualitas belajar dan fisik anak. Progas tahun 2017 menyasar 100.000 siswa sekolah dasar  dari 563 sekolah di 11 kabupaten pada lima provinsi, yaitu Banten, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua Barat, dan Papua. (*)